Latar Belakang
Perang dunia II membawa konsekuensi pada muncul nya dua poros besar politik dunia yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat (“AS”). Pengaruh keduanya juga terasa di daerah yang disebut semenanjung korea (korean peninsula) atau sekitar asia timur, dimana menjadi salah satu wilayah dengan potensi konflik yang sangat besar, akibat persaingan hegemoni ideologi besar dunia yakni sosialisme yang diusung oleh Uni Soviet dan liberalisme yang diusung oleh negara barat.
Pada tahun 1950 muncul perang korea sebagai residu perang dingin (cold war) antara soviet dan barat, sehingga AS memberlakukan truman doctrine dimana membuat AS terus berusaha menekan pengaruh komunis dan soviet di seluruh dunia, tak terkecuali di semenanjung korea. Dengan didasarkan pada mandat United Nations pada tahun 1953, amerika memulai intervensi dan mengirimkan pasukannya di korea selatan dan berhasil memukul mundur pasukan korea dibawah komando Kim Il Sung, namun ditahan oleh intervensi dari china. Setelah perang korea usai, melalui perjanjian Korean Armistice Agreement mengakibatkan korea terbelah menjadi dua bagian oleh garis 38 parallel, sehingga pada akhirnya terbentuklah dua negara baru yakni korea utara (“Korut”) dengan ideologi sosialis komunis dan Korea Selatan (“Korsel”) dengan ideologi liberal demokratis.
Namun, harus diketahui bahwa kedua negara diatas pada kenyataanya belum menyatakan jika perang telah selesai. Hal ini diperburuk dengan menguatnya pengaruh dari Republik Rakyat Cina (“RRC”) sebagai sekutu ideologis korut, yang terus berusaha menyaingi pengaruh AS di wilayah asia timur dimana terdapat korsel dan Jepang sebagai sekutu AS. Ketegangan antara Korut dan negara-negara asia timur sekutu AS secara nyata terjadi pada tahun 2017 ketika Korut mengancam akan menjatuhkan peluru kendali (“rudal”) di kepulauan Guam, dimana markas angkatan laut AS berada sebagai respon atas latihan militer gabungan yang dilaksanakan AS dan sekutunya di asia timur. Yang terbaru pada tahun 2024, terjadi perang psikologis (psywar) yang dilakukan oleh korut dengan mengirim balon udara berisi sampah ke wilayah korsel, dimana dibalas dengan melakukan psywar broadcast menggunakan pengeras suara yang dapat menjangkau puluhan kilometer jauhnya, dimana berisi berita dan kemajuan budaya pop di korea selatan, yang menyebabkan beberapa tentara korut membelot kepada korsel.
Ketegangan hubungan geopolitik yang ada di asia timur dapat menjadi ancaman bagi perdamaian dunia, terutama potensi ancaman perang nuklir yang ada, mengingat korut memiliki teknologi paling mutakhir dalam jenis peperangan tersebut. Korut memiliki teknologi Inter Continentall balistic missile (“ICBM”) atau secara harfiah dapat diartikan sebagai teknologi senjata nuklir antar benua dengan radius jangkauan hingga lebih dari 15.000 Km. Rudal ICBM dapat menjangkau lebih dari separuh belahan dunia dalam waktu beberapa menit saja. Hal ini dibuktikan pada tahun 2023 melalui uji coba rudal nuklir dengan kode Hwasong-18 (“HS-18”) yang diluncurkan sebagai bagian dari perayaan hari nasional kemerdekaan korut. Rudal ini dapat mencapai ketinggian 6.518,2 Km dan memiliki kecepatan Mach 27 (33.100 Km/Jam) atau 27 kali kecepatan suara.
Kiranya, uji coba rudal nuklir ini adalah pesan efek gentar (deterence effect) oleh korut kepada para rivalnya di sekitar daerah semenanjung korea, wilayah asia timur maupun di belahan dunia lain. Tak berhenti sampai disana, korut terus melanjutkan program uji coba nuklir nya, yang terbaru adalah pada tanggal 19 Januari 2024 di laut timur korea dengan diledakkannya drone berhulu ledak nuklir dengan kode Haeil-5-23 yang menghasilkan gelombang radioaktif sangat besar dalam radius 1.000 Km, sebagai respon terhadap latihan gabungan US Navy AS dan ISDF Jepang. Jika hal ini terus terjadi, tentunya AS sebagai sekutu korsel dan jepang tidak akan tinggal diam dan sangat dimungkinkan terjadinya konfrontasi nuklir (nuclear confrontation) antara kedua belah pihak.
Oleh karenanya, diperlukan sebuah konstruksi solusi yang holistik, baru, dan dapat mengikat antara kedua belah pihak. Hal ini dapat diraih dengan memanfaatkan eksistensi hukum internasional (weltrecht) dimana menjadikan negara sebagai subjek hukum (legal subject), sehingga wajib mematuhi substansi aturan atau norma yang ada didalamnya. Guna meningkatkan kepatuhan terkait dengan ancaman penggunaan senjata nuklir, nantinya akan dibentuk World Nuclear Statute, berisi aturan peperangan nuklir (nuclear warfare) dan didalamnya terdapat program denuklirisasi berkelanjutan (sustainable denuclearization), mengingat nuklir adalah teknologi yang dapat menghancurkan populasi dari seluruh umat manusia. Melalui world nuclear statute, tujuan hukum untuk dapat mendatangkan perdamaian (vredematigheid) dapat terwujud.
World Nuclear Statute
World Nuclear Statute adalah program yang penulis konseptualisasikan sebagai solusi dari ketegangan yang merujuk pada ancaman nuklir yang nyata di daerah semenanjung korea atau asia timur. Nantinya program ini dapat di inisiasi melalui sebuah pertemuan antar negara yang bersangkutan dalam konferensi tingkat tinggi (Highest Conference) hingga diambil sebuah kesepahaman bahwa penggunaan nuklir hanya akan menimbulkan nestapa bagi umat manusia secara keseluruhan. World Nuclear Statute nantinya terdiri dari dua sub-program utama yakni 1). Nuclear Warfare Regulation; 2). Denuclearization.
Program pertama Nuclear Warfare Regulation (“NWR”) adalah sebuah program dalam world nuclear statute dimana menghasilkan sebuah norma yang mengikat negara-negara yang terkait dengan aturan peperangan nuklir. NWR bertujuan untuk dapat mengikat negara-negara pemilik nuklir, terutama yang berada di wilayah asia timur khususnya di semenanjung korea untuk tidak menggunakan nuklir mereka, kecuali pada situasi yang genting dan memaksa. Situasi yang genting dan memaksa ini nantinya berkaitan dengan ada atau tidaknya intensi negara kontra (lawan) untuk menggunakan senjata pemusnah masalnya seperti gas beracun (poison gaz) atau bom beranak (cluster bomb) dan senjata yang memiliki daya rusak (destruction) besar lainnya.
Nantinya pada NWR, nuklir hanya diperkenankan untuk digunakan pada saat dan hanya jika pihak lawan juga menggunakan senjata pemusnah masal. Jika pihak pemilik nuklir menggunakannya tanpa ada bukti bahwa pihak kontra memiliki senjata pemusnah masal, maka senjata yang bersangkutan dapat dikeluarkan dalam kesepakatan world nuclear statute dan seluruh negara dalam perjanjian diatas dapat secara legal mendeklarasikan perang terhadapnya.