Nasionalisme telah merambah ke penjuru dunia mulai dari abad Ke-18 hingga abad Ke-21. Diawali dengan revolusi perancis yang terjadi akibat ketidakpuasan Masyarakat perancis terhadap ancient regime yakni pada masa pemerintahan Louise XVI dari House Of Bourbon dan istri nya yang dijuluki sebagai “madame deficit” atau jika diartikan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Nyonya hutang” Marie Antoinette. Setelah beberapa event yang terjadi pada awal-awal revolusi perancis, muncul lah sebuah masa yang dikenal sebagai “the reign of terror” dimana kalangan radikalis yakni faksi politik jacobin dengan tokoh berpengaruhnya yakni Maximmillian Robespierre menghegemoni kekuasaan di republik perancis ketika itu.
Disisi lain, rakyat perancis yang telah jenuh menghadapi pembantaian demi pembantaian melakukan sebuah referendum yang menghasilkan pemerintahan yang di duduki oleh “directoire de la France” yang berjumlah enam orang. Sistem direktori mengangkat konsep pemerintahan dari romawi kuno yang dipilih melalui senat. Hanya saja, pada sistem romawi kuno hanya dikenal dua direktori sebagai pengurus pemerintahan. Seperti yang dapat diduga, bahwa direktori pada kenyataanya tidak efisien dalam hal melaksanakan urusan pemerintahan. Para direktori di cap sebagai pejabat yang lamban dan korup, sehingga untuk yang kesekian kalinya beberapa direktori berusaha merebut kekuasaan direktori lain dan mengajak seorang jenderal italia-perancis yang baru saja meninggalkan “campaign of pyramid” di mesir seperti alexander the great, yakni Napoleon Bonaparte.
Napoleon bersama sieyes merencanakan kudeta untuk dapat menjadikan dirinya sebagai “le primaire consule” atau konsul utama. Dengan peristiwa kudeta sebagai peristiwa 13 Brumaire di istana paris yang terpelosok, napoleon bonaparte menancapkan tarinya dalam konstelasi kekuasaan di perancis dan eropa. Jadinya napoleon sebagai konsul utama membawa sebuah perubahan baru bagi bangsa eropa dan pada nantinya dunia. Karena dengan menjadi konsul utama, secara de facto napoleon adalah raja dari perancis itu sendiri. Beberapa hal yang ia terapkan dalam pemerintahannya adalah menyatukan seluruh rakyat perancis yang telah mengalami perang demi perang, dan revolusi demi revolusi untuk memiliki satu tujuan yakni membuat perancis menjadi agung lagi. Dan hal ini dilakukan secara brilian oleh kepemimpinan napoleon yang “tangan besi”. Perancis dengan cepat dapat menyaingi Britania Raya yang ketika menjadi adidaya dunia, sehingga napoleon memutuskan untuk membentuk pasukan sebagai persiapan perangan Britania Raya yang disebut sebagai “le grande armee”.
Pada tahun-tahun selanjutnya, eropa akan menyaksikan unjuk kekuatan yang benar-benar drastis sehingga setiap negara yang ada di eropa menjadi bagian dari dan atau menjadi sekutu dari perancis karena memiliki kemampuan militer yang luar biasa. Pada masa inilah, nasionalisme merebak dari wilayah perancis ke seluruh penjuru eropa melalui jalan invasi yang dilakukan napoleon di spanyol, austria, dan rusia. Nantinya, pada tahun 1848 terjadi sebuah gelombang revolusi yang menuntut para monarki yang ada di seluruh eropa untuk menghormati hak-hak warga negara dan segera melandaskan diri pada hukum, alih alih otokrasi. Peristiwa inilah yang juga menguatkan pengaruh teritorialisme di seluruh negara eropa termasuk di seluruh dunia melalui nasionalisme bangsa-bangsa yang ada di eropa.
Namun, apakah gagasan nasionalisme masih relevan sekarang? Apakah gagasan yang lahir dari rahim revolusi perancis pada abad Ke-18 masih relevan pada kondisi kita masyarakat yang hidup pada abad Ke-21?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H