Mohon tunggu...
Krisna Bayu Kristiyanto
Krisna Bayu Kristiyanto Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora tahun angkatan 2015. NIM : 15730126. Daerah asal Magelang. Motto hidup : Bahagia itu... SEDERHANA. Goal : sukses di usia muda dengan berbisnis. fb : Krisna Bayu K, twitter : @punyakrisna16

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahagia itu... Sederhana

26 September 2015   23:33 Diperbarui: 27 September 2015   02:22 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan saya kali ini mungkin dapat dikatakan “terlambat”, karena bahan tulisan ini saya dapat seminggu yang lalu. Tapi, menurut saya berbagi itu tidak ada kata terlambat, kapan saja kita bisa berbagi. Betul tidak ?

Sabtu, 19 September 2015, saya bersama teman-teman dari Program Studi Ilmu Komunikasi sedang berkumpul di depan benteng Vredeburg, Yogyakarta . Kami berada disana tidak tanpa tujuan, kami mendapat tugas lapangan dari Dosen Jurnalistik untuk menemukan fenomena ataupun kejadian yang ada di wilayah tersebut.

Waktu itu kira-kira pukul 10.00 WIB, kami dikumpulkan di depan Benteng Vrederberg untuk absen dan mengambil tugas dari Dosen kami. Saya mendapat tugas untuk mencari berita tentang sosok yang ada di wilayah Pasar Malioboro. Setelah saya mengetahui apa yang harus saya kerjakan, saya bersama 3 teman lainnya yaitu Mirna, Nuris, dan Ayra mulai berjalan menyusuri trotoar Pasar Malioboro yang waktu itu belum begitu ramai karena masih pagi.

Beberapa saat kami berjalan, kami merasa bingung karena kami belum bisa menemukan apa yang menarik dan pantas untuk kami liput. Sampai ketika seorang Ibu tukang jamu yang sedang mendorong sepeda jengkinya mendekat ke arah kami. Saya merasa tertarik untuk mendekati tukang jamu tersebut. Dengan wajah yang ramah khas orang Jogja, tukang jamu tersebut menawarkan saya untuk minum jamu dagangannya, “Monggo mas, badhe ngunjuk nopo ?”. Karena keramah-tamahan ibu tukang jamu tersebut, saya memberanikan diri untuk mengetahui lebih jauh tentang ibu tersebut.

Ternyata eh ternyata nama Ibu tersebut adalah Ibu Sisri atau biasa dipanggil Mbok Sisri. Mungkin anda berpikiran sama dengan apa yang saya pikirkan, namanya sama kayak merk minuman kemasan ya ? Mbok Sisri merupakan seorang tukang jamu asli Jogja yang telah 20 tahun berkiprah dalam dunia perjamuan. Jamu yang dia bawa adalah jamu hasil racikannya sendiri, tiap harinya dia harus bangun pagi untuk meracik jamu tersebut. Walaupun di toko-toko sudah banyak jamu kemasan buatan pabrik, dia tetap yakin bahwa jamu tradisional buatannya akan tetap laku karena selain harganya yang murah, jamu tradisional tidak ada efek sampingnya.

Ketika saya tanya tentang umurnya, Mbok Sisri malah mengajak saya untuk bermain tebak-tebakan, “Hayo coba tebak umur saya berapa ?”. Saya pun mulai mengira-ngira, kalau dilihat dari wajahnya, Mbok Sisri baru berumur 40th, tapi ternyata tebakan saya salah, beliau mengaku bahwa beliau kelahiran tahun 1965, yang berarti tahun ini adalah tahun pertama beliau berkepala 5. Sungguh tidak saya sangka bahwa seorang Ibu berusia 50th masih terlihat muda dan masih kuat untuk berjalan membawa beban yang tidak enteng. Padahal tiap harinya dia harus berjalan kurang lebih 30 menit dari rumahnya untuk sampai di Pasar Malioboro untuk menjajakan jamunya. Mbok sisri pun memiliki pelanggan setia di wilayah Pasar Malioboro.

Pertemuan saya dengan Mbok Sisri tidak begitu lama, namun dari pertemuan yang singkat itu, ada banyak hal yang bisa saya petik. Salah satunya yaitu, walaupun ketiga anaknya sudah lulus sekolah dan sudah bekerja bahkan salah satu anaknya sudah ada yang berkeluarga, dia tetap gigih bekerja untuk membantu suaminya mencari nafkah. Suaminya yang hanya seorang pedagang bakso dirasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Jadi, demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari mereka, Mbok Sisri meminta izin kepada suaminya untuk berjualan jamu. Ya, semua ini karena cinta. Komitmen seorang istri untuk ikut bekerja demi terciptanya keluarga yang bahagia, walaupun dalam kesederhanaan.

Itulah tadi pengalaman saya seminggu yang lalu ketika saya berjalan-jalan menyusuri Pasar Malioboro sampai akhirnya saya bertemu Mbok Sisri yang menginspirasi saya untuk berbagi pengalaman disini. Semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat.

Seperti biasanya, untuk mengahiri tulisan saya kali ini, saya memiliki sebuah rangkaian kalimat :

Bahagia itu bukan tentang apa yang bisa kita beli dengan materi untuk kepuasan sendiri, akan tetapi bahagia itu ketika kita bisa memberi dengan ketulusan hati kepada orang lain.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun