Entah sudah berapa lama aku duduk bersila di depan meja dan beralaskan karpet yang terlipat kecil. Sepanjang hari seluruh fisik dan pikiranku mengarah pada gadget kecil satu-satunya berukuran 5,5 inch yang aku genggam sepanjang hari. Bertahun tahun aku lakukan hal ini dalam posisi yang sama. Bukan hitungan hari ataupun bulan, namun tahun.
Gadget ini terlihat belum berikan hasil harta secara signifikan, melainkan hanya memperoleh segala wawasan yang aku cari dan segala harapan yang aku tanam, begitulah hukum relatifitas yang dibaca semua orang dari hari-hariku. Bagi mereka, aku gagal.
Setiap waktu aku hanya mengatakan dalam hati bahwa apa yang aku dapat esok hari adalah hasil dari apa yang aku lakukan sekarang. Day by day aku selalu berharap esok mungkin dapat keberuntungan dari apa yang aku lakukan hari ini. Namun tak terasa waktu terus bergerak dan terlewat hingga lebih dari 4 tahun lamanya.
Ulang tahun Ibuku yang tak sengaja terlewat seakan mengagetkanku di antara lamunan. Aku menangis setelah tahu bahwa aku telah jauh melampaui durasi yang dulu pernah aku janjikan dalam hati. Membahagiakan kedua orangtuaku mungkin janji yang seakan terus menjadi fatamorgana.Â
Tuhan mungkin punya alasan untuk mempertahankan kehidupan mereka di usia lanjutnya. DiberiNya kesehatan agar mereka dapat menyaksikan bagaimana aku dapat sampai di ujung janjiku yang benar-benar nyata nanti. Namun, nanti dan nanti hingga kapan? Lagi-lagi aku yang egois mulai menangis dan merasa dunia ini terhenti buatku.
Tidak dalam grafik nasib yang semakin baik, namun malah semakin terpuruk dan terjerat dalam permasalahan terbesar dalam hidupku yang telah kubuat sendiri. Segala sumpah serapah telah aku lontarkan pada diriku sendiri atas segala kebodohan yang telah kulakukan. Entahlah, hari ini seakan mati rasa, apakah berhenti ataukah terus bergerak dalam kesia-siaan.Â
Aku ingin pasrah, waktu seakan tidak pedulikan jiwaku yang terseret dan tercabik, namun tak juga mati. Jangankan tentang harga diri yang tergadai, ragapun tak ada yang sudi untuk menjamah dan mendekat.
Mungkin sudah jutaan kali aku menyebut Tuhan dan memohon segala pertolonganNya. Dia hanya diam. Meski aku tahu sentuhan Tuhan bukan berupa apa yang aku harap dan bayangkan, namun aku terus saja berharap jalan keluar bagi keadaanku yang terasa semakin buruk ini, day by day.
Ibu dan Bapakku masih menunggu di ujung jalan sana. Mereka mendoakanku setiap hari dalam hatinya. Agar aku baik-baik saja dengan caranya. Mereka tidak ada harap apapun selain ingin melihatku baik-baik saja. Dan janjiku pada mereka masih menggantung di cakrawala tanpa mereka tau, dan aku belum dapat menggapai dan memberikannya.
Bu, ulang tahunmu ini sangat berarti buatku. Bukan tentang cerita perayaan di depan kue tart berlilin dan dikelilingi orang-orang yang menyanyikan lagu happy birthday. Bukan tentang melihatmu tersenyum karena bertambah lagi satu tahun usiamu. Namun, sebuah tamparan untuk membuatku bangun dari tidurku selama puluhan tahun. Aku cuma hanya bercita-cita mulia namun tak kunjung juga tergapai dan hanya memandangmu dalam jeruji hati yang sengaja aku buat sendiri.
Terlalu banyak maaf yang telah aku tiupkan lewat udara. Terlalu banyak caci-makian yang telah aku lontarkan buat diriku sendiri. Dan sudah terlalu banyak airmata yang aku teteskan setiap saat aku merindukan. Yang mungkin aku pikir sekarang adalah bangun. Aku harus bangun dari melankolis yang telah merenggut waktuku bertahun tahun.Â