Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Pembangunan Kota Satelit di Area Hutan Karet, Semarang

10 Desember 2015   15:30 Diperbarui: 11 Desember 2015   04:35 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan Kota Satelit di Area Hutan Karet, Semarang

Kota merupakan sebuah ekosistem sosial ekonomi dan manusia yang dinamis dan kompleks, sebuah tempat pertemuan, konfrontasi, dialektika, dan emosi (F. Ascher, 1995). Pertumbuhan penduduk yang pesat di suatu kota disertai dengan manusia yang selalu dinamis merupakan salah satu faktor terjadinya urban sprawl atau pengembangan wilayah ke arah pinggiran kota secara masif sehingga menyebabkan terjadinya perubahan fungsi lahan di suatu wilayah tersebut.

Perubahan fungsi lahan atau konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992). Salah satu peristiwa konversi lahan yang saat ini sedang terjadi berada di Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah yaitu pembangunan kota satelit bernama Bukit Semarang Baru (BSB). Kota satelit adalah kota kecil di tepi sebuah kota besar yang meskipun merupakan komunitas mandiri, sebagian besar penduduknya bergantung kepada kehidupan di kota besar (Wikipedia, 2015). Kota tersebut akan menempati area lahan hutan karet seluas ±1000 hektare yang didukung dengan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung kegiatan penduduk.

Tujuan dan dampak positif dibangunnya BSB yaitu untuk memenuhi kebutuhan permukiman penduduk Kota Semarang yang telah penuh sesak di perkotaan didukung dengan kawasan niaga dan bisnis, pusat rekreasi dan olahraga, saran pendidikan, dan sarana kesehatan. Sarana dan prasarana yang lebih memadai memudahkan masyarakat dalam melakukan kegiatannya. Kemudian, terjadinya peralihan kegiatan, yang sebelumnya, rural menjadi urban yang berarti bahwa infrasturktur di kawasan tersebut semakin berkembang dan perekonomian semakin meningkat dilihat dari semakin bertambahnya penduduk yang bermukim di wilayah tersebut yang berarti kegiatan perekonomian di sana semakin meningkat. Hal ini dibuktikan oleh data yang diperoleh dari Buku Kecamatan Mijen dalam Angka oleh Badan Pusat Statistik Semarang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2009 sebanyak 51.035 jiwa hingga pada tahun 2013 sebanyak 57.887 jiwa.

Namun pembangunan kota satelit ini tidak luput dari dampak negatif yang muncul akibat pengembangan ini. Jika ditilik dari segi lingkungan hal ini tentu merugikan karena Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi berkurang yang mengakibatkan berkurangnya pula daerah resapan air. Ironisnya, hutan yang dijadikan sebagai lahan terbangun merupakan hutan produksi dan hutan lindung sebagai pengatur tata air.

Adapun data terkait berkurangnya lahan hijau yakni pada tahun 2009 luas area perkebunan yaitu 1.116.000 Ha dan pada tahun 2013 luas lahan perkebunan menjadi 880.959 Ha (Kecamatan Mijen dalam Angka, 2014). Dalam jangka 5 tahun lahan perkebunan berkurang sebanyak 235.041 Ha. Ini jelas memunculkan masalah baru, dalam hal ini, bencana banjir dimana Kota Semarang merupakan daerah yang sering terjadi banjir. Kemudian, jika dipandang dari segi ekonomi memungkinkan timbulnya permasalahan hilangnya lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal akibat penggundulan lahan hutan karet.

“Saya sudah bekerja selama 42 tahun, sebetulnya kurang setuju dengan program pembangunan di sini, tapi mau tidak mau harus ikut prosedur yang ada,” ujar Sularto, petani hutan karet (detakjateng.com, 2014).

Lalu, jika dipandang dari segi sosial memungkinkan terjadinya kesenjangan sosial karena mayoritas penduduk lokal bekerja sebagai petani hutan karet dan gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, sedangkan para pendatang merupakan masyarakat menengah ke atas.

Hingga saat ini, pembangunan BSB belum memberikan dampak positif yang lebih bagi penduduk lokal. Proyek yang belum sepenuhnya terealisasi ini memang belum bisa dirasakan manfaatnya secara menyeluruh oleh masyarakat sekitar. Hal ini bisa disebabkan karena BSB belum memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar terkait lapangan perkerjaan dan kenyamanan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak investor perlu memperhatikan aspirasi masyarakat guna mencapai pembangunan yang bersifat aspiratif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun