Seorang pengemis tua duduk bersandar pada dinding kusam sebuah toko di sudut kota yang sibuk. Di bawah redupnya lampu jalanan, wajahnya keriput tampak semakin lusuh. Kerut wajahnya seolah bercerita tentang perjalanan panjang hidupnya yang sulit.
Pengemis tua itu hanya diam. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat lelah. Tangan yang keriput itu masih menunjukkan kekuatan dan semangat hidupnya.
Setiap hari menjelang sore, pengemis tua itu pasti duduk di sana dengan cangkir kosong di tangannya. Ia berharap akan ada kebaikan dari orang-orang yang lewat meskipun tidak pernah ada jaminan bahwa bantuan akan datang. Dia tetap setia di tempatnya, menghadapi kenyataan dengan martabat yang tak tergoyahkan.
Suatu pagi nan dingin setelah hujan mengguyur bumi, seorang lelaki paruh baya berjalan melewati pengemis itu. Penampilannya biasa saja. Ia memperhatikan pengemis tua itu lalu berlalu.
Setelah beberapa lama, ia kembali lagi dan berhenti di depan pengemis itu. Ia menyadari bahwa di balik baju kotor dan lusuh itu, ada kehidupan yang berharga. Di matanya terpancar suatu niat kebaikan.
Dengan senyum hangat, lelaki itu menaruh beberapa uang di dalam cangkir pengemis itu. Namun, yang membuat pengemis itu terkejut adalah ketika lelaki itu membungkuskan selimut hangat di sekeliling bahu pengemis tua itu.
"Udara pagi ini cukup dingin," kata lelaki itu dengan lembut.
"Semoga selimut kecil ini bisa sedikit menghangatkan Bapak."
Pengemis tua itu terdiam. Matanya berkaca-kaca, seolah tak percaya pada kemurahan hati yang baru saja dia terima. Dia hanya menatap lelaki itu, tanpa bicara. Namun, pancaran matanya penuh dengan pengharapan dan rasa terima kasih yang mendalam.
"Rasanya ucapan terima kasihku tak cukup untuk membalas kebaikan hatimu," kata pengemis itu dengan suara parau. "Tuhan pasti akan memberkatimu untuk semua kebaikanmu."