Kakek itu tersenyum lembut lalu duduk di bawah pohon cemara, di samping Ali. "Dulu, pada zaman nenek moyang kita, di desa ini terjadi sebuah peristiwa besar. Ada sebuah keluarga miskin yang tinggal di tepi hutan ini. Mereka hidup sederhana, tapi penuh kebahagiaan. Mereka memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Amir, anak yang cerdas dan penuh semangat."
Ali mendengarkan dengan kagum. "Lalu apa yang terjadi pada mereka, Pak?"
Kakek itu melanjutkan ceritanya, "Suatu hari, terjadi musibah. Hutan ini dilanda kebakaran besar yang mengancam seluruh desa. Banyak orang panik dan berusaha menyelamatkan diri, termasuk keluarga Amir. Namun, saat Amir menyadari bahwa hutan ini adalah rumah bagi banyak makhluk hidup, dia tidak ingin meninggalkannya begitu saja."
Ali mengangguk mengerti. "Amir pasti anak yang baik hati."
Kakek itu tersenyum. "Ya, betul sekali. Amir meminta izin kepada orang tuanya untuk berusaha memadamkan api. Dia berlari ke sana ke mari, membawa ember air dari sungai terdekat, dan berjuang melawan api dengan sekuat tenaga."
"Dan apa yang terjadi?" tanya Ali, semakin penasaran.
       Baca juga: Penantian di Stasiun
Kakek itu menarik nafas dalam-dalam. "Amir berhasil memadamkan api di sekitar pohon cemara ini. Namun, dia terjebak di tengah-tengah kobaran api yang besar. Saat itulah, pohon cemara ini menjadi tempat perlindungan bagi Amir. Dia berlindung di antara dahan-dahan yang rimbun, sementara api menyala di sekelilingnya."
"Namun, dengan keberanian dan keteguhan hatinya, Amir akhirnya berhasil keluar dari bahaya itu dengan selamat. Setelah kejadian itu, pohon cemara ini dianggap sebagai simbol keberanian dan ketabahan bagi seluruh desa."
Ali terdiam sejenak, terkesima dengan cerita yang didengarnya. Dia kemudian menatap pohon cemara dengan penuh penghormatan.
"Cerita yang luar biasa, Pak," ucap Ali dengan suara yang penuh penghargaan.