Simpul-simpul permasalahan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu di urai. Salah satu adalah sistem pembayaran untuk rawat jalan tinngkat pertama (RJTP). Sebagai contoh, alokasi rata-rata biaya pelayanan kesehatan per pasien di provinsi DI Yogyakarta hanya Rp4.699 tetapi di Jawa Timur mencapai Rp244.166.
Perbedaan alokasi biaya pelayanan kesehatan di setiap wilayah sangat terkait dengan jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan, yaitu banyaknya pasien yang berobat. Per 1000 peserta Jamkesmas di provinsi DIY terdapat 6.129 kunjungan RJTP dalam setahun, atau 511 per bulan, maka untuk jumlah peserta 5.000 orang ada 85 kunjungan RJTP per hari, dengan asumsi hari kerja 30 hari per bulan. Di Jawa Timur, untuk 5.000 peserta hanya terdapat 1,65 kunjungan RJTP per hari, atau kurangdari 2 pasien.
Simulasi proyeksi perhitungan berdasarkan angka utilisasi kunjungan RJTP peserta Jamkesmas pada tahun 2013 (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, Lampiran 4.5). Tarif kapitasi diasumsikan Rp5.000 per peserta per bulan, sesuai standar tarif apabila memiliki 1 orang dokter dan memiliki dokter gigi (Permenkes No.12/2016 ).
Maka dana kapitasi untuk 5.000 peserta adalah sebesar Rp25 juta per bulan. Alokasi untuk jasa pelayanan kesehatan minimal 60% atau minimal Rp.15 juta, untuk tenaga medis dan non medis. Sisanya maksimal sebesar Rp.10 juta dialokasikan untuk biaya operasional pelayanan kesehatan seperti obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai serta kegiatan pelayanan lainnya (Permenkes No.19/2014).
Besaran tarif kapitasi ditentukan dengan mempertimbangkan kriteria sumber daya manusia (SDM), kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan, yang akan diterapkan bertahap. Untuk pertama kali digunakan kriteria SDM yaitu ketersediaan dokter dan dokter gigi. Apakah kriteria tersebut akan mempengaruhi jumlah kunjungan dan besarnya biaya pelayanan kesehatan?
Utilisasi (penggunaan) pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh demografi, geografi dan epidemiologi, sosial ekonomi dan budaya, yang saling terkait, termasuk ketersediaan fasilitas kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat. Faktor-faktor individual seperti umur, jenis seks, pendidikan, pekerjaan, riwayat penyakit tidak mungkin diabaikan begitu saja.
Pada program JKN, BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada FKTP secara praupaya berdasarkan kapitasi atas jumlah peserta yang terdaftar di FKTP (Perpres No.19/2016). Tarif kapitasi tidak memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan, sedangkan tarif non kapitasi untuk membayar di luar lingkup tarif kapitasi, seperti ambulans, obat rujuk balik, pemeriksaan penunjang rujuk balik, skrining kesehatan tertentu, jasa pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir, dan sebagainya (Permenkes No. 59/2014).
Risiko bagi FKTP tampaknya telah diminimalkan dengan adanya tarif non-kapitasi. Beda kondisi dan lingkungan antara Puskesmas dan praktik dokter atau klinik swasta. Tarif kapitasi praktik dokter Rp8.000 sampai Rp.10.000, dan terbuka koridor merujuk. Terlepas bagaimana Puskesmas dan klinik membayar dokter, tampaknya ada peluang memperoleh keuntungan melayani peserta JKN. Soal profesionalisme peran sebagai dokter pelayanan primer (dokter keluarga) dapat didefinisikan kembali sesuai harapan masing-masing, dan kearifan lokal.
Sistem pembayaran kapitasi kepada FKTP dalam program JKN telah diungkapkan dalam Peta Jalan Menuju JKN 2012 – 2019, bahwa melalui cara pembayaran kapitasi atau “borongan” diharapkan dapat memaksa dokter menjadi efisien namun tetap menjaga kualitas pelayanan, dan persaingan sehat antara dokter terjadi berdasarkan kualitas layanan, bukan tarif. Bagaimana menjelaskannya secara rasional, entahlah…
Permasalah fundamental bukan hanya terkait dengan model pembayaran. Semua pihak banyak berfokus pada uang, dan kurang memberi perhatian bagaimana memanfaatkan uang tersebut untuk menghasilkan pelayanan berkualitas bagi pasien, melalui penguatan sistem kesehatan berbasis penguatan pelayanan primer. Semua pihak yang terkait tentu memahami kaidah tersebut sejak awal, tetapi ternya tetap berlangsung sampai 32 bulan. Dampaknya, makin memperlemah peran dan fungsi pelayanan pelayanan primer.
Pelayanan primer menyelenggarakan pelayanan kepada pasien yang dikoordinasikan oleh dokter pelayanan primer untuk memastikan pasien menerima pelayanan yang berkualitas sesuai yang dibutuhkan. Mengutamakan pasien dalam sistem pelayanan, dan hanya itu yang perlu diperjuangkan untuk penguatan pelayanan primer.