Penguatan pelayanan primer tidak dapat dicapai dalam sekejab. Demikian pula upaya memperbaiki sistem pembayaran. Tidak mungkin bersendiri melakukan perubahan perbaikan fundamental untuk penguatan pelayanan primer. Contoh yang terjadi di beberapa negara dapat dijadikan pelajaran yang berharga, bahwa peran masyarakat dan pengusaha sangat penting. Tanpa memperkuat pelayanan primer, tidak mungkin berharap memperkuat sistem kesehatan. Tanpa penguatan sistem kesehatan, cita-cita mewujudkan cakupan universal boleh jadi sekedar mimpi.
Tahun 2014 BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp3,3 triliun karena pendapatan dari premi sebesar Rp40,72 triliun tetapi pengeluaran membayar klaim sebesar Rp42,65 triliun. Diungkapkan juga potensi defisit tahun 2015 sebesar Rp6 triliun. Dana operasional tahun 2014 sebesar 6,25% dari total premi. Tahun 2015 naik menjadi 6,47% (Permenkeu No.245/PMK.02/2014, 24/12/2014), tetapi kemudian berubah menjadi 0,005% (Permenkeu No.108/PMK.02/2015, 8/6/2015). Timbul tanda tanya yang belum terjawab, apakah ada yang salah?
Mengatasi defisit dengan menaikkan iuran adalah pertimbangan yang rasional. Jumlah penduduk miskin peserta penerima bantuan iuran (PBI) jumlahnya 97,05 juta jiwa atau 65,1% dari total peserta 149,2 juta jiwa per 24 Juli 2014. Maka menaikkan premi peserta PBI sangat bermakna meningkatkan penerimaan BPJS Kesehatan, dan tidak gaduh karena yang membayar Pemerintah.
Tak urung Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, Laksono Trisnantoro mengkawatirkan terjadi subsidi silang yang terbalik karena yang miskin memberikan subsidi untuk yang mampu. Menurut Guru Besar Universitas Gadjah Mada yang juga mantan Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, kenaikan iuran tersebut sebetulnya tidak akan menjawab atau menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan program JKN, karena memang masalahnya terlalu komplek, jadi harus dievalusi secara menyeluruh.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menilai, harus ada perbaikan mendasar, agar defisit anggaran BPJS Kesehatan tak menjadi bom waktu yang memberatkan anggaran negara di masa mendatang. Diyakini banyak yang mempunyai pemahaman sama, tetapi sebagian menyimpannya sendiri. Terus maju harusnya gentar karena tak cukup bersiap, tetapi mundur malu lagipula tak tahu bagaimana caranya.
Masalah-masalah yang muncul ke permukaan lebih menarik perhatian, sehingga evaluasi terhadap penyebab utama mungkin terabaikan. Padahal masalah-masalah tersebut umumnya tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan banyak aspek lain yang sifatnya interdependensi. Penyelenggaraan jaminan kesehatan meliputi beberapa aspek:
(1) aspek regulasi/peraturan perundang-undangan;
(2) aspek kepesertaan;
(3) aspek manfaat dan iuran;
(4) aspek pelayanan kesehatan;
(5) aspek keuangan; dan
(6) aspek kelembagaan dan organisasi.
Dalam rapat terbatas mengenai pelaksanaan BPJS Kesehatan di kantor Presiden, Februari 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan mengetahui ada banyak masalah di lapangan, termasuk potensi mendengar potensi masalah likuiditas dan solvabilitas BPJS Kesehatan. Presiden ingin mengetahui penyebabnya, bagaimana menyelesaikannya, dan menyempurnakan regulasinya.
Pertanyaan Presiden mencakup hampir seluruh aspek kegiatan penyelenggaraan jaminan kesehatan. Memang tidak mudah dijawab, tetapi para calon petinggi BPJS Kesehatan seyogyanya dapat menyiapkan solusi.
Para calon petinggi yang kelak harus berjuang demi masa depan program JKN boleh menyimak kembali Inpres No.7/2014. Presiden telah menginstruksikan kepada seluruh jajaran Pemerintah (ada 20, termasuk Mendagri, Gubernur, Bupati/Walikota) untuk mengambil langkah-langkah terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan Program Indonesia Sehat bagi keluarga kurang mampu dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia usaha.
Salam hangat jabat erat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H