MEMINTAL SUNYI
(Aku suka wayang, karena lebih mudah menemukan sosok pribadi daripada dalam kehidupan nyata. Seandainya dalam kenyataan aku bergaul intens dengan seseorang, aku yakin pertemanan itu terjadi karena bingkai pandanganku tentang wayang. Kisah pewayangan telah mengisi sebagian memoriku. Aku memang jarang menonton pergelaran wayang, karena bagi orang Jawa itu dunia lelaki. Aku risih berada di antara laki-laki, apalagi untuk waktu semalam suntuk. Aku biasa melek semalaman, tapi tidak dalam situasi hati risih, tidak dalam getaran rasa pekewuh. Aku selalu memantulkan tiap sosok yang kutemui dalam hidup dengan tokoh-tokoh wayang yang telanjur menjadi memenuhi memoriku. Wayang telah menjadi frame-ku untuk menetapkan orang-orang. Wayang tidak pernah menolakku. Wayang tidak pernah menghakimi diriku. Wayang selalu menerimaku, tanpa syarat. Dunia manusia sehari-hari selalu bertanya-tanya tentang kelajanganku. Wayang telah memerdekakan kelajangan.
Ki Pandaya lebih dulu kujumpai dalam wayang. Aku temukan karena Ki Pandaya sudah ada di dalam wayang. Aku yakin Ki Pandaya dikirim oleh semesta untuk menemani diriku. Juga untuk mendampingi pendirian dan imajinasiku. Ki Pandaya tidak mengikuti wacana jender, tapi dia sangat luwes menempatkan kedudukan perempuan. Perempuan tidak perlu dibingkai dengan keadilan atau kesetaraan. Perempuan itu sesuatu yang menghidupkan, begitu katanya, pernyataan yang sederhana.)
Lebih jauh Ki Pandaya merujuki pernyataan anehku.
”Ki, andai ini pernah ada. Aku setuju bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat binatang. Jadi, manusia itu makhluk yang paling mulia dan paling hina. Di dalam dirinya ada kelembutan juga kebuasan melebihi binatang. Di dalam pribadinya mengalir rasa sayang pun keberingasan melampui binatang. Manusia itu makhluk yang paling mengasihi anak-anak sekaligus paling durhaka melewati keganasan induk binatang.”
Ki Pandaya tercenung. Matanya memandangku dengan heran. Barangkali berpikir, perempuan mau melahirkan masih saja bicara tentang sesuatu di luar persalinan.
”Yah, memang ada banyak kebiasaan dan tradisi yang menggambarkan binatang sebagai simbol bagi manusia. Simbol-simbol yang lebih kerap disematkan justru dari binatang-binatang buas atau beringas: singa, harimau, serigala, beruang, banteng, rajawali, kobra, kuda, hiu, buaya, dan lain-lain.”
Aku malah ganti tertegun, sebab pernyataanku diterimanya. Ki Pandaya justru melanjutkan bahan yang semula diungkapkannya dengan ragu-ragu.
”Memang, ada yang lembut kayak merpati, panda, kelinci ... tapi prosentasenya lebih kecil. Itu berarti manusia lebih suka dipandang sebagai insan yang kuat, gagah, berkuasa, pemenang, bengis, lalim, tiada tanding, serta seabrek lagi kharisma nggegirisi yang lain.”
”Jadi, Ki. Kesimpulan sementara, manusia itu ber-evolusi dari binatang. Paham reinkarnasi dalam Hindhu yang kira-kira menyatakan bahwa manusia mati akan menitis sesuai dengan perilaku semasa hidupnya, konon itu bersumber pada pengalaman kebinatangan manusia. Dalam bahasa lain, hal ini berarti manusia itu makhluk yang telah mengalami mutasi sekian kali. Benarkah?” *)
Ki Pandaya tidak memberikan pembenaran. Ki Pandaya justru langsung tunjuk saja, kadang-kadang manusia yang berkharisma nggegirisi itu ada di lembaga-lembaga, unit kerja, komunitas, tarekat, dan seterusnya.”
”Lho, Ki, jangan-jangan binatang itu kita. Lebih jauh lagi, orang yang menjadi ketua atau kepala, mengurus uang, tekun berdoa, kreatif, disukai anak-anak, seolah punya visi tajam, dan kesalehan-kesalehan lainnya. Ah, di sini aku baru menyadarinya.”
(To, kamu masih mau mendengarkan ceritaku?) Ki Pandaya itu pengajar yang tekun dan sabar. Dalam mengungkap makna, bahkan dalam mengutarakan alasan, tidak menuduh, apalagi menghasut. Aku yang sering mudah marah akibat tekanan pekerjaan, ditelikungnya habis-habisan.
”Marah itu ada banyak musabab: tersinggung, tersudut, kewalahan, menolak, tidak adil, disalahkan, malu, direndahkan, dianggap angin lalu, tidak terpilih, terjebak, dilukai, dicaci, dipandang tak pantas, dan seterusnya. Ingatlah, konon energi tubuh yang paling banyak terbakar sia-sia itu ketika orang sedang marah-marah.”
(To, jangan suka marah, ya.)
”Lila, di dalam jagad pewayangan ada tokoh yang berkarakter selalu marah, namanya Baladewa. Seorang prabu, seorang raja, termasuk sekutu Pandawa Lima, tetapi secara de yure berada di pihak Kurawa. Tidak peduli dirinya berada di mana, tidak pandang bulu kepada siapa. Baladewa akan meledak saat dirinya tersinggung. Bahkan, terhadap hal-hal remeh pun. Tak ada tokoh yang mampu mengempiskannya, kecuali Kresna, raja kerajaan Dwarawati itu. *) Keistimewaan Baladewa adalah gampang reda sewaktu dia tahu duduk perkaranya atau jelas sebab-musababnya. Itu yang membedakan dengan kita. Baladewa mudah luruh dan tidak menyimpan perkara dalam dirinya. Baladewa langsung tertawa begitu tahu sebab-musabab, meskipun di tengah situasi telanjur ngamuk-ngamuk.”
”Kemarahan itu ada di mana saja, tanpa peduli waktu pula. Sayang disayang, tidak semua orang mau tahu wayang, sehingga Baladewa pun hanya ngendon di kotak sang dalang.” sahutku sekenanya.
”Betul, Lila. Wayang sebenarnya alat ampuh untuk membumikan sesuatu yang sulit dimengerti. Namun, adakalanya juga berfungsi untuk menyudutkan pribadi, demi kepentingan inkulturasi. Di tanah Jawa, agaknya punya budaya purba untuk memelintir, membengkokkan, membumikan apa-apa yang masuk ke dalam kukubannya.”
”Kamu ingat Pendeta Druna dalam pewayangan? Dia itu sebenarnya tokoh berkharisma luar biasa. Tokoh yang mengasuh dan menyatriakan anak-anak berdarah Bharata. Sosok yang cerdik mengolah konflik yang terbit dalam lingkungan para satria yang nyantrik kepadanya. Karakter yang bijak dalam nggulawentah dan ngemong rasa cemburu pada anak-anak asuhnya. Pribadi yang waskita dengan hati seluas angkasa raya dan berbudi selurus pancaran cahaya benda-benda langit. *) Bahkan, barangkali hanya Semar Bandranaya yang mengungguli segala kharisma Pendeta Druna.
”Ya-ya, Ki. Di Jawa, Druna menjadi sosok yang yang bersetubuh dengan kuda, lalu melahirkan Aswatama. Dia selalu memihak Kurawa yang telah memberinya makan dan kedudukan. Dia memecundangi kesalehan Pandawa dengan tertawa lega. Dia menjadi pendeta yang amburadul tanpa laku brata, karena tidak berwawasan ning-neng-nung yang agung itu. Dia menjadi penasihat kerajaan Astinapura yang jarang mengamalkan konsep manunggaling kawula lan Gusti. Dia pendeta yang ngakak menyaksikan busana Drupadi dicabik-cabik Dursasana.
”Itulah, salah satu ekses inkulturasi yang berupaya membumikan dan mengadaptasikan nilai, norma atau paugeran, dan kharisma demi pemenuhan sudut pandang yang cenderung politis. Kita sudah mafhum dan sadar bahwa latar budaya kita cenderung membingkai dengan sudut-sudut pandang kekeliruan dan jarang berani mengoreksinya.”
(To, masih tekun mengikuti ceritaku?)
Aku pun menyodorkan kisah percintaan yang paling lumrah, cinta lawan jenis. Dalam suatu perbincangan tiba-tiba aku berpikir bahwa cerita Damarwulan itu berakhir dengan unhappy. Percintaan murni bermula persahabatan dari kandang kuda sampai di tebing-tebing lahan rumput, dialami Anjasmara dan Damarwulan. Namun, Ratu Kencana Wungu yang menikmati ketampanan dan keperkasaan Damarwulan di peraduan. *) Pada akhirnya, pembaca, rakyat pun telah digiring dengan manis untuk menerima perlakuan jomplang itu sebagai peristiwa sah yang berlatar keluhuran. Aku bertanya-tanya, benarkah demikian?
Apakah pribadi lelaki itu demikian nyundul awang-awang dalam mengangkat kehormatan dan kekuasaan, sehingga tega meruntuhkan impian mahligai yang pernah dibangunnya sendiri dengan kepenuhan cinta? Aku menganggap yang mengangkat derajat Damarwulan itu mula-mula Anjasmara, si bungsu Patih Logender itu. Aku tidak peduli ayahnya yang tamak itu. Hati embun pagi Anjasmaralah yang membukakan katup tempurung kehidupan Damarwulan, sampai-sampai mendapat tempat di lingkungan kerajaan. Proses cinta yang jernih dan berliku antara Anjasmara dan Damarwulan begitu mudah ditepis dengan kekuasaan atau kehormatan yang sebenarnya nisbi untuk dijadikan pegangan hidup.
Sungguh, sejak kecil aku bertanya-tanya, tapi jarang muncul ke permukaan, karena aku terpaksa menerima pengesahan masyarakat yang membenarkan perilaku Ratu Kencana Wungu. Selama berpuluh tahun aku turut mengamini akhir cerita happy yang manipulatif. Sebagai orang Jawa, apakah kamu tahu persis ke mana hati Anjasmara dilabuhkan dengan trauma kepiluannya? Atas nama apa Ratu Kencana Wungu menobatkan Damarwulan menjadi suami dan rajanya? Keperkasaan? Kehormatan? Politik? Kepentingan rakyat? Ya, hingga kini aku selalu masih bodoh untuk mengerti antara kepentingan rakyat dan kebijakan kekuasaan.
”Ketahuilah, Lila, ada kemungkinan unsur pengorbanan dalam budaya Jawa memang sengaja dibingkai dalam kepasrahan total. Sikap pasrah yang dinamis terwujud menjadi serangkaian laku yang cenderung memojokkan hal-hal manusiawi. Anjasmara tersingkir dengan enteng demi pemenuhan suatu nilai yang hingga sekarang tetap sulit dimengerti ujung-pangkalnya.”
”Ki, sebagai orang Jawa, saya terus saja bertanya-tanya nilai apa yang tidak berujung dan berpangkal itu. Bagiku, seandainya Damarwulan dan Anjasmara bunuh diri bersama atas nama cinta, kayak Romeo dan Juliet yang legendaris, barangkali foklor itu akan lebih bergema sepanjang masa. Dan cinta akan lebih dimaknai oleh pasangan yang sedang saling melabuhkan, tanpa harus memaksa diri untuk menambatkannya.”
Uraianku yang beruntun ditanggapi dengan senyum. Ya, Ki Pandaya cuma tersenyum. Lalu beliau mengajakku minum, teh kental-pahit. Aku selalu menyeruput isi cangkir dengan pelupuk terkatup.
”Lama-lama kamu akan terbiasa.” ujarnya tanpa pernah bertanya suka atau tidak setiap diajak minum teh pahit bersama. Namun, teh pahit telah menyadarkanku pada sesuatu yang selama ini aku lupakan, aku tolak dengan sengaja. Cinta kita, To. Mirip teh pahit, saat disisip terasa sepet, tapi menggairahkan ketika diteruskan. Jangan-jangan Ki Pandaya menyindir kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H