Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Romantis 54

6 Desember 2014   06:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:56 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KUPU-KUPU

”Kamu pernah dengerin lagu Melly Guslow?”

”Apa?”

”Butterfly.”

”Yang di-feat dengan Andhika itu?”

”Ya, syairnya memuja kekasih, suasananya mengubek-ubek telaga rasa. Rindu diaduk-aduk sampai masyuk.”

”Maksud kamu, apaan, to?”

”Entah, Anto Hoed atau Melly yang menyairkannya. Diksinya pas dan indah. Melly berduet dengan lincah dan merdu.”

”Lho, sejak dulu Melly memang begitu. Inovatif, atraktif, dan imajinatif.”

”Sok tahu, ah!”

”Lho, kamu itu sukanya cuma apriorisaja!?”

”Yo, wis, ngono wae, ngambek....”

Keduanya berdiaman.

Si perempuan mengisi dadanya dengan udara, mengangkat bahunya tanda bingung menghadapinya. Tangannya menjemba kepala lelakinya.

”Sayang?”

”Sssttt, aku sedang membayangkan masa kecilku. Berlari-lari dengan plastik transparan yang berisi beberapa kupu-kupu. Bersorak ketika berhasil menangkap, lalu memasukkan ke dalam plastik. Wajah-wajah temanku yang iri melihat prestasi tangkapanku.”

”Di mana?”

”Di dalam masa yang takkan pernah bisa kita kunjungi. Meskipun kita berupaya membangun seribu mimpi tiap hari.”

”Kupu-kupu?”

”Ya, di dalam plastik transparanyang menggelembung.”

”Plastik?”

”Ya, yang menjebak kupu-kupu dengan indah.”

”Terjebak?”

”Ya, terjebak tidak selalu berarti kalah.”

Mereka masih terus bercengkerama.

Lalu saling bertatapan. Keduanya baru sadar sedang trjebak dalam plastik seperti masa kecilnya. Waktu yang tersipu, pelan-pelan mengitari dengan kesemuan tanpa memberi aba-aba. Hari-hari yang mereka lalui ternyata sebagian terselip di antara lipat baju yang kusut akibat pergumulan.

”Kita ternyata kupu-kupu di dalam plastik.”

”Yeee, kenapa baru sadarsekarang!”

”Kau, sih, terus saja menerbangkan aku.”

”Yahhh, namanya juga manusia. Aku tak mau menipu. Menjadi kupu-kupu telah mengokohkan hidupku. Menjadi kupu-kupu memupus rasa ragu. Menjadi kupu-kupu tidak pernah jemu, karena bisa terus bersamamu.”

Atap rumah itu tiba-tiba terbuka. Keduanya menengadah ke langit. Angkasa sedang mengorak warna putih yang bergumpal-gumpal mengisi kelengkungan.

Di sisi-sisi punggung mereka bertumbuhan sayap-sayap. Sayap-sayap yang mengembang dengan ringan. Mereka membumbung ke langit  berkerudung plastik.

(Seandainya saja Anda bersama mereka, Anda pasti akan tertawa hingga lupa bahwa kupu-kupu telah bertelur lagidi plastik lainnya.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun