RANTING
”Aku tidak mudheng dengan cerita-ceritamu.” ucap temanku. Ketika mendengar itu aku tersipu. Rasanya aku telah menimbun beribu makna di benak kepalanya. Lalu aku teringat cerita kaum sufi yang mengajari kita untuk membawa beban hidup satu per satu. Ibarat ada seonggok ranting yang besar, kita akan kelelahan membawanya sekaligus sampai di rumah. Kita tentu membutuhkan tenaga dan siasat yang berlipat. Berharap ikatan besar itu segera teronggok di sudut pekarangan rumah, sungguh sesuatu yang mustahil.
”Kau merangkai cerita-ceritaku?” tanyaku sembarang saja.
”Aku tidak merangkainya, aku cuma mengurutkannya.”
”Barangkali di sinilah uniknya. Suatu cerita tidak untuk diurutkan, apalagi dinomori untuk menunjukkan tahap adegannya.”
”Terus, untuk apa ada latar, ada tokoh, ada peristiwa, ada konflik?”
”Menurutku, sekadar untuk menunjukkan bahwa di dalamnya ada sesuatu. Sesuatu yang leboh pokok dibandingkan unsur-unsur yang kasat mata. Kau juga tahu, mata cenderung mengibuli kita sebab jarang mencerna dengan leluasa.”
”Maksudmu?”
”Sederhana saja. Apabila kita melihat semut-semut yang berpapasan dengan sesamanya, kita sudah telanjur menyikapinya sebagai bentuk kerukunan. Kita tidak pernah mencoba untuk melihat dengan cara berbeda. Misalnya, di antara semut-semut yang berpapasan tentu ada juga yang memisuhi sesamanya. Bahkan, barangkali malah saling meludahi.”
”Ah, kau bisa saja.”
”Oke. Kau masih cerita tentang seseorang yang ingin membawa seonggok besar ranting dari hutan ke rumahnya?”
”Ya. Cukup satu-satu membawanya, lebih ringan.”
”Ibaratkan saja begitu. Cerita itu ibarat seonggok ranting yang akan membebani pikiran kalau ditangkap secara spontan. Ambil saja satu bagian, tinggalkan bagian-bagian yang lain. Besok baca kembali, jumput lagi sebagian saja, taruh bagian yang lain. Begitu seterusnya.”
”Aku tidak sabar!”
”Yah, sudah kau tidak usah membaca cerita.”
”Lha, aku sangat ingin membacanya.”
”Lha, buat apa kalau tidak sabar.”
”Lho, aku orangnya praktis.”
”Lho, cerita itu lebih praktis daripada kau!”
”Ah, kau malah mengolokku!”
”Ah, tahukah kau? Cerita-cerita itu yang telah mengolok-olok kita?”
”Weh, kau yang bikin kan?”
”Weh, aku cuma melempar-lempar ranting saja.”
”Duh, lagi-lagi ranting!”
”Itulah. Semua cerita itu hanya ranting-ranting saja. Kalau kau ingin memungutnya, raih saja.”
”Tidak harus semuanya?”
”Ya.”
”Jadi, aku tidak perlu menumpuknya?”
”Buat apa?”
”Ah, kau!”
”Kalau kau menumpuknya, hidup menjadi berat.”
”Jadi, satu ranting saja, cukup?”
”Satu atau dua tidak ada bedanya.”
”Gimana, sih?”
”Cukupkan dengan satu ranting. Apabila masih belum cukup: ambil satu ranting lagi.”
”Kau bikin pusing.”
”Jangan hidup kalau tidak mau pusing.”
”Terserah.”
”Itulah. Kau memang mudah menyerah.”
Aku terdiam. Pasrah. Dia mengangkat bahu, memandang diriku dengan raut ragu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H