Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Romantis 30

6 November 2014   06:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baji Nguk

”Ada cerita apa?”

”Laron menelan cicak.”

”Alaaa ... itu kan lumrah.”

”Kucing dicucuki ayam sampai tinggal kerangkanya.”

”Ah, di kampungku malah ada gajah disantap ular, ditelan bulat-bulat lagi!”

”Kalau manusia dikloning dengan anjing?”

”Lha, ini baru berita. Hasilnya?”

”Rahangnya separo atas mencuat ke depan, separonya lagi melesak ke belakang. Bagian kepala berbulu. Leher hingga pusar tanpa bulu, terus pinggang sampai lutut berbulu keriting. Setengah lutut ke bawah belang-belang.”

”Kloningnya dikerat dari bagian mana?”

”Anjing disayat dari lidahnya. Manusia dicuwil dari bibirnya.”

”Diindukkan pada apa?”

”Anjing.”

”Wah, perutnya apa muat?”

”Tidak. Kloningnya lahir, karena perut anjing meletus!”

”Sembilan bulan sepuluh hari?”

”Tidak. Menurut pemantauan komputer, persisnya, sembilan hari, sembilan jam, sembilan menit, lebih sepuluh detik.”

”Anjingnya mati?”

”Hidup. Tubuhnya memang terbelah, masing-masing belahan hidup normal. Cuma masing-masing belahan berkaki dua saja. Keduanya jadi induk bagi si kloning. Si kloning akan menjerit dan menggonggong bila dipisahkan dari induknya.”

”Apa nama si kloning?”

”Baji Nguk.”

”Di laboratorium mana?”

”Apanya?”

”Baji Nguk?”

”Di mana saja ada.”

”Ah, kau jangan main-main. Saya serius, nih!”

”Saya lebih dari serius, beratus-ratus rius. Baji Nguk itu, sekarang barangkali berkeliaran di dalam hatimu.”

”Lha, kau malah berilusi!”

”Manusia tidak bisa hidup tanpa ilusi.”

”Ah, kau! Dari kloning kok sampai ilusi.”

”Ya, kloning berawal dari ilusi.”

”Hubungannya apa?”

”Kalau kau bertanya memang tidak ada hubungannya. Namun, kalau kau tidak bertanya, kau akan menemukan jawabannya.”

”Bingung saya, kini kau berfilsafat.”

”Kau akan selalu bingung. Karena kau tidak merasa ada.”

”Terus?”

”Ya itu tadi. Kau tidak perlu bertanya di mana, jika kau sungguh-sungguh ada. Keberadaan itu menyiratkan tempat, waktu, dan keadaan.”

”Jadi, saya tidak perlu melihat Baji Nguk?”

”Terserah.”

”Ah, kau jangan begitu dong!”

”Ya, sudah, kau memang bajinguk!”

”Aku? Bajinguk?”

”Ya. Kau memang bajinguk!”

”Lalu, kau siapa?”

”Aku? Bukan bajinguk!”

”???”

(Itulah percakapan dua orang yang sempat saya dengar, saat saya sedang buang hayat di pinggir bengawan.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun