Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Romantis 26

27 Oktober 2014   05:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:37 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

EMBUN

Di belakang rumah ada pekarangan, luasnya sekitar 200 meter persegi. Ada pohon pisang, jambu, mangga, sukun, apokat, jeruk, bahkan beberapa jati muda. Pada arah tenggara ada bangunan bambu dikelilingi pagar untuk beberapa ekor ayam yang tiap pagi diumbar keluar. Saat berkeliaran ayam-ayam itu nelek di sembarang tempat, termasuk di teras-teras rumah tetangga.

Pekarangan itu termasuk bagian yang kusukai. Kalau siang aku sering berteduh di sana, malah kadang tidur pula. Di dalam rumah pengab, panas, dan sumuk. Mataku letih memandangi anggota keluarga. Cuping telingaku tawar mendengar berbagai omongan. Hatiku membeku memandangi wajah-wajah putih yang berekspresi tanpa warna. Apa saja yang mengisi rumah, rasanya hanya memantulkan kebosanan. Dinding-dinding membiaskan ketamakan. Rumah telah menjadi tempat yang berputar-putar saja nuansanya: rutin, hitam-putih, dan kaku.

Siang ini aku leyeh-leyeh di bawah pohon jambu. Mataku terpejam, dunia pun tenggelam. Dua tetes air menimpa dahiku. Aku terperanjat, memandang ke atas. Tidak ada angin tidak ada hujan. Mosok ada burung sedang kencing. Mataku terpejam kembali, dunia pun terbenam. Beberapa tetes air jatuh di pipi. Aku terhenyak, menengadah. Kini mataku terbuka penuh, jelalatan ke atas, sesekali ke kanan dan kiri. Ah, peduli amat, pikirku. Mataku terpejam lagi, dunia pun luruh. Tetes-tetes air berjatuhan di wajah, dada, perut .... Aku tergugah, mataku makin jelalatan. Saban mata terbuka, tetes-tetes air berlalu. Dan tetes-tetes segera mengering.

Mataku terpejam lagi, dunia pun tidak bergeming.

”Tuhan, jangan bangunkan aku lagi.”

Tetes-tetes air berhamburan. Menciprat sekujur badan. Aku tidak mau melek, agar tetes-tetes air tidak mengering. Tetes-tetes air makin mencurah dengan deras. Mengalir berbuncah-buncah.

”Tuhan, aku ingin buta.”

Air bersimbah, menderas, dan terus membuncah. Aku pun tenggelam, tanpa sempat menggelepar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun