Tahukah Kau tentang ”Cikru” Cinta?
Di kampung halamannya dahulu ada istilah ”cikru” (Jawa: berkecambah) untuk menamai biji-bijian yang mulai bertunas. Pada masa lalu barangkali cinta telah menjadi cikru, tapi masih malu untuk sungguh-sungguh bersekutu.
Kecambah telah bertunas di dalam tubuh kekasihnya yang ayu. Cikrunya mengembang – mungkin sedikit menyentak lever. Akar serabutnya yang dulu pernah melar, kini terus menjalar ke organ-organ dalam. Batangnya kian berisi, digetar-getar urat nadi kekasih yang tak henti berdenyut. Ranting-rantingnya mulai bermunculan karena pupuk yang berasal dari aliran darahyang pasrah. Sebagian ranting menerobos keluar tubuhnya – ada yang meletup lewat kerut pusar, njeplak dari lubang telinga, menjulur dari lubang hidung, menyerobot pinggir bola mata, mencuat dari lubang-lubang lainnya, tapi sebagian besar berkerumun di relung hatinya.
Rerantingan yang berbentuk sulur itu lantas berdaun. Daunnya tipis-tipis, hijau muda, dan agak lebar. Pada ujung rerantingan juga muncul beberapa kuncup bunga, terus merata ke semua ranting yang berjumbaian ke mana-mana. Semakin hatinya bergairah, kian cepat pula kuncup-kuncup itu bermekaran. Saat gairahnya berubah menjadi birahi, bunga-bunga pun lekas menjadi biji.
Sewaktu dirinya merajuk kesal, kuncup-kuncup pun enggan mekar. Mereka terkulai lesu – mengajak hati bersekutu. Kuncup-kuncup yang sesungguhnya begitu setia. Dedaunan yang hijau menjadi hilang nuansanya, melemas – dengan liar menutupi mata, hidung, pipi, jenjang leher, payudara, kerut pusar – bahkan menumpuk lapuk di relung hati.
Kala gairahnya menyala kembali. Sulur-sulur pun bercahaya. Dedaunan menghijau seketika. Kuncup-kuncup langsung mekar mengurai bunga – bunga yang berwarna-warni tiada tara. Akar serabut di dalam tubuhnya turut bereaksi tanpa basa-basi. Sari-sari makanan diisapnya dengan lahap. Tumbuhan di tubuh kekasih mirip suatu sistem, yang secara manajerial digerakkan oleh keadaan hatinya. Mereka akan serempak menyatakan dukungan pada hati yang mengemas rasa fitri.
Semesta raya mengembuskan angin lega. Laut memantulkan pendar biru berkilau. Cakrawala mengurai pandang lepas mata. Barangkali Tuhan Allah juga tersenyum atau geleng-geleng kepala melihat tingkah dua anak manusia – seperti kala memandang Adam dan Hawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H