MENGAIS CINTA
Lima tahun yang lalu kami berjumpa. Dia dosen muda yang kelihatan energik, tapi jarang berbicara berlebihan kepada mahasiswa yang menemuinya. Mula-mula dia membaca identitas paper yang terlambat kukumpulkan.
”Sukmawati Arkapuri,” dia membaca namaku.
”Ya, Bapak Ramanditya Rastoputra.”
Aku pun berkelakar dengan ragu.
”Panggil saja, Tato.”
Keraguanku pupus saat dia menyahut begitu. Aku kelabakan melanjutkan omongan.
”Oke, Non, jangan terlambat lagi untuk tugas berikutnya!”
Aku kegirangan dan berlari dengan ceria.
”Yes, Sir!”
Dia memandang kepergianku dengan tatap tanya. Hatiku bergidik dan berbunga. Ternyata dosen yang elegan, agak pendiam memang. Senyumnya bikin melayang. Perawakannya termasuk jangkung sedang, 170-an. Badannya termasuk kekar, walau tidak besar. Konon dia suka turut bertualang dengan para mahasiswa. Dosen yang jinak-jinak merpati, suka terlibat dalam aktivitas mahasiswa. Daki gunung. Panjat tebing. Susur sungai. Reboasasi perbukitan. Sepakbola. Bahkan, mendatangi kelompok-kelompok diskusi yang berorientasi pada kaum pinggiran. Terlibat dalam LSM-LSM yang vokal pada kebijakan pemerintah yang kebanyakan sarat dengan manipulasi. Mahasiswa menyenanginya, tapi tak bergeming pada mahasiswi yang menggodanya. Dan aku muncul dari kelebatan masa yang tidak siap menerima reaksi darinya. Tanpa sengaja, tidak dinyana.
”Sukmawati Arkapuri.” Panggilnya. Aku mendongak.
”Ikut susur sungai?” Tanyanya.
”Ya, Pak. Mencari sampel biota air tawar. Mengukur kadar limbah dan efeknya terhadap kehidupan habitatnya.”
”O, sudah baca jurnal-jurnal sebelumnya?”
”Sudah, Pak. Ingin mengamatinya secara pribadi.”
”Bagus. Panggil saja, Tato.” Katanya sambil menyalamiku. Aku tergagap.
”Jadi, kamu bukan anggota kelompok pecinta alam?”
Aku menggeleng.
”Teman-teman?”
”Lebih suka di perpustakan. Aku bosan. Aku ingin pengalaman, Pak.”
”Bagus. Panggil saja, Tato.” Ujarnya. Aku agak geli mendengarnya.
Kami berpandangan. Aku bingung.
”Oke, lanjutkan. Aku ambil minum.” Aku jengah. Tanganku memainkan tangkai jala. Aku mengaduk-aduk pinggir sungai dengan hati gamang. Ada apa gerangan?Aku tidak pernah membayangkan bertemu dalam suatu kegiatan. Dia pun masih menyebut namaku dengan lengkap. Dosen muda yang sering diomongkan teman-teman, kini di depanku. Aku merasa seperti tanaman putri malu. Mengatup saat dipagut. Ah, bermimpikah aku? Kutepuk kedua pipi.
”Nyamuk?” suaranya berdentam di rongga dada. Aku terhenyak.
”Tidak.” Jawabku dengan kebingungan.
”Kok menepuk-nepuk pipi?”
”Refleks aja.”
”O. Ini, biar tidak kedinginan.” Tangannya mengangsurkan secangkir teh panas. Aku terkesima menerimanya. Kami lalu duduk di bebatuan. Derau air sungai yang tidak begitu deras samar-samar terdengar. Di depan kami melintas dengan gemulai siput yang beringsut-ingsut.
”Makhluk yang paling santai di dunia.”
”Apa?” Tanyaku ragu.
”Tuh, siput. Untuk menempuh 1,5 kilometer saja, membutuhkan waktu kira-kira 33 jam. Kita paling menempuhnya dalam waktu 20 menit, kan?”
”O....” Jawabku keheranan dengan pengetahuannya.
”Mari kita tebak-tebakan.” Ajaknya dengan santai.
”Ya, tentang apa?”
”Binatang.” Tukasnya, aku cuma mengiyakan.
”Binatang apa yang bergerak lebih cepat daripada kereta api?”
”Ha? Di atas tanah atau di udara?”
”Di udara.”
”Udara, burung elang.”
”Lebih khusus lagi.” Pak Tato mengejar. Aku gelagapan. Tertunduk.
”Mungkin burung ini termasuk sejenis elang, tapi bukan elang. Falkon… Ya, falkon peregrine. Burung yang sangat tinggi saat terbang di angkasa, burung yang memburu burung-burung kecil untuk disantapnya. Jika sasarannya sudah ditentukan dengan ketajaman matanya, dia akan menukik ke arah mangsa dengan kecepatan 130-an kilometer per jam. Ini berarti suatu kecepatan yang melebihi laju kereta ekspres.” *)
”Oh,” suara itu saja yang terlontar dari mulutku yang jurusan Biologi.
”Mau lagi?” tantangnya lagi. Aku tersenyum menyetujui.
”Binatang apa yang umurnya paling lama, bahkan dibandingkan manusia?”
”Ular?” jawabku sekenanya.
”Bukan.”
”Buaya.” Rasanya aku makin ngawur.
”Bukan. Kura-kura raksasa. Di dunia ini yang tercatat mati, itu pun akibat kecelakaan berumur 152 tahun. Kalau binatang ini hidup sewajarnya, umurnya dapat mencapai 200 tahun.”*)
”Ah, seharusnya Bapak jadi dosen Biologi saja.” Tukasku.
”Ah, kalau bisa aku malah tidak ingin mengajar.”
”Lho?”
”Aku lebih suka bertualang saja. Sayangnya, belum ada lembaga yang mau membayar orang bertualang.”
”Kenapa nggak menulis tentang petualangan. Kan bisa dapat honor.”
”Ya, betul. Kalau nggak laku?Aku nggak makan dong!”
”Mosok sampai nggak makan?” sahutku. Dia cuma mengangkat bahu. Ada teriakan dari teman-teman yang susur sungai. Tangan mereka melambai ke arah kami berdua. Pak Tato membalas mereka.
”Mungkin mereka butuh bantuan. Aku ke sana. Lanjutin saja. Tuh, siputnya udah sampai sana!” tunjuknya sambil beranjak. Entah, aku harus lega atau kecewa. Dia melangkah dengan punggungnya yang terlihat kekar. Bau keringatnya dengan aroma cologne yang telah memudar, tiba-tiba mengoyak hidungku. Aku gundah. Aku belum pernah mengingat bau lelaki yang bercampur cologne. Bau itu terus saja menggoda diriku. Ah, ada apa dengan diriku?Aku mencoba menyibukkan diri dengan tujuan kegiatanku semula.
Kini aku mengikuti kuliahnya dengan binar baru. Sinsin, teman karibku, agaknya mulai mencium gelagat.
”Sukma, Pak Tato sekarang kok sering salah ucap? Aku ngelihat, kalau menatapmu kayak ada sesuatu. Kamu juga banyak menunduk akhir-akhir ini. Hey, diajak ngomong malah ngelamun!”
”Sin, kamu mau janji tidak buka rahasia?”
”Nah, ini dia. Hei, kamu jatuh cinta kepadanya, ya?”
”Kamu mau berjanji memegang hal ini?” aku menuntut.
”Oke, oke. Ada apa?”
”Sssttt, lihat terus ke depan dong, Pak Tato mulai terusik kita tuh!” Aku menyodorkan selembar kertas sobekan dari notebook, mataku pura-pura menatap lurus.
”Aha, apa pula ini!?” sergah Sinsin menjengkelkan.
”Dia berikan puisi ini saat aku ikut susur sungai.”
Sukmawati Arkapuri, kaukah Hawa?
Alam tempat manusia tenggelam
Adam-Hawa yang berdosa dalam bahagia
Tuhan sengaja mencipta pohon pengetahuan
Adam-Hawa melanggar peringatan-Nya
Hawa birahi
Adam melingkupi
Hawa menyembur api
Adam menangkap hati
”Kita dicipta untuk berdosa.” lantun Adam
”Kita direksa buat bercinta.” sahut Hawa
Dan mereka melata sebagai manusia yang mengenal dunia
”Pergilah dari surga, kini kalian hanya mengenal dunia.
Surga terangkai dari cinta. Kalian akan dahaga selamanya.
Namun, cinta mengembalikan ke surga. Pergilah manusia.
Di akhirat tidak mengenal pria dan wanita.”
Dunia mengenal pria-wanita dalam cinta.
Susur sungai, September ....
(Dosen yang terusik mahasisiwinya)
”Wow!” pekik Sinsin tentu saja menggegerkan perkuliahan. Pak Tato memandang ke sudut kami tanpa ekspresi. Sinsin langsung membungkam mulutnya sendiri. Sinsin menahan ngikiknya.
”Sori .... ” desah Sinsin mengembalikan puisi. Aku menyambarnya sigap, segera menyimpan di tas.
”Puitis sekali, kayak Kahlil Gibran.” Suara Sinsin mendesah di telinga.
”Kapan kamu pernah baca Kahlil?”
”Hihi, kata orang, Non. Katanya Kahlil itu filsuf yang berpuisi.”
”Oke. Lanjutin nanti di kantin. Aku jadi nggak enak dengannya. Kamu nyatat?”
Sinsin cuma mencibir. Sialan.
”Ngapain nyatat, sekarang, aku cukup ngandalin gacoannya. Kamu.”
Ternyata Sinsin bukan hanya sialan. Dia sableng.
Di kantin Sinsin menumpahkan reaksinya. Matanya yang bundar bersemangat sekali. Kata-katanya meluncur di antara bakso yang dikunyahnya dengan megap-megap kepedasan. Dia minta tambah porsi saat kubilang aku yang membayarnya. Sinsin sungguh menikmati kegirangannya.
”Hah-hah-hah, sori. Terus, Darmawan kamu taruh mana?” tanyanya kepedasan.
”Darmawan? Kami tidak pacaran. Sumpah.”
”Ma, Sukma. Orang-orang tahunya lo pacaran ama Darma.”
”Yah, padahal kami belum pernah ngomongin cinta.”
”Apa harus diomongin? Cinta itu kadang nggak verbal, Non.”
”Sin, kamu nggak tahu atau pura-pura sih,” ucapku mencolek saus.
”Tahu apa?” Mata bundarnya membelalak indah. Dahiku berkerut.
”Darmawan itu gay.” Bisikku seolah mau mengulum kupingnya.
”Ya, ampun!” Sinsin menghentikan gerak mulutnya. Mata bundarnya makin indah saat kaget begitu. Mulutnya menganga heran, juga karena kepedasan.
”Ma, bener nih?!” tangannya mengguncang bahuku. Aku mengiyakan.
”Oh, gue pernah mikir gini. Kalau kamu bosan, aku mau terima dia.”
”Dasar rakus.”
”Abis, Gogon kayaknya udah nggak hangat lagi.”
”Kamu mau kuliah atau cari cowok melulu.” Sergahku.
”Dua-duanya. Kenapa sih?”
”Oh, my God. Kamu masih nanya kenapa?!” aku geleng-geleng. Sinsin cuma tertegun sejenak. Kemudian ngakak. Aku tergoda, tertawa keras pula.
”Eh, Ma, kalian udah berciuman mulut?” Sinsin selalu menonjok.
Aku mengangguk. Agak malu.
”Raba-rabaan?” Sinsin tonjok langsung.
Aku mengangguk.
”Wow, ke atas atau ke bawah?” Sinsin terus saja menonjok-nonjok. Kini malah menyudutkanku. Aku terdiam.
”Heh, ngerabanya ke atas atau ke bawah?” Tembaknya lagi.
”Ke atas.” Jawabku dengan wajah bersemu merah.
”Bagus. Itu pacaran yang sopan. Itu gaya Kahlil Gibran,” ucapnya menggurui.
”Alah, kamu. Sok tahu. Kahlil Gibran itu nggak pernah berciuman.”
”Lho, mosok gitu?”
”Kahlil cuma bercinta dengan kata-kata. Dengan surat-suratnya kepada May Ziadah. Selebihnya, dia tidak menikmati keindahan fisik cinta. Sebagian Kahlil ada dalam diri Tato. Dia lembut, tidak memaksa, bahkan kadang aku yang mendekatkan tangannya.” *)
”Tato. Kamu diminta panggil gitu?”
”Ya, Tato. Dosenku dan pacarku. Awas, Sin. Cuma kamu yang tahu. Kapan-kapan aku juga beritahu Darma. Tentang ini.”
”Oke, sayang, yang dijaga datu-datu, cuma satu ....” ujarnya menyuarakan puisi Chairil dari Cerita Buat Dien Tamaela. Ada gunanya dia kuajari untuk menghargai karya sastra. Meskipun dia jarang sungguh-sungguh membaca sastra.
Menurutnya, sastra itu dunia yang gelap. Dalam sastra hanya berisi jalan-jalan yang tidak berujung. Tidak pasti. Ada keindahan, tapi sulit dipahami. Ada kesan yang muncul, tapi tidak menjadikan badan nyaman. Indah bagi Sinsin adalah dinikmati dengan mata atau lidahnya. Kesan baginya jika menggetarkan tubuh dan melambungkan hatinya dalam kepuasan nyata.
Sinsin memang jarang membaca, apalagi karya sastra. Buku-buku kuliah saja dibaca serampangan. Namun, saat ujian dia selalu bisa. Aku mengakuinya, dia cerdas. Kuliah hanya mendengarkan sekadarnya. Jarang menulis isi kuliah. Kalau butuh, dia mengopi catatanku. Dia berasal dari keluarga berada. Tidak berlagak kaya. Tidak naik mobil mengkilat. Kadang justru membonceng teman yang pakai roda dua, entah siapa saja.
Sinsin pula yang mendorongku untuk melanjutkan sampai ke jenjang pernikahan. Dia terus mendesakku untuk segera menikah, begitu aku habis diwisuda. Orang tuaku tidak setuju dengan keputusanku untuk menikah. Aku nekat saja. Orang tua terpaksa merestui anak semata wayangnya. Kami sepakat untuk bertempat tinggal di pinggir kota. Aku pun suka situasi yang berselimut kehijauan dan merdu burung-burung. Kami pun hidup bahagia. Orang tuaku tetap menjadi kakek dan nenek yang menyenangkan. Menerima Tato apa adanya. Memahami segala kesibukannya.
Cukup menjadi ibu rumah tangga serampung kuliah, menyia-nyiakan ijasah sarjana, tidak pernah ada dalam benakku selagi remaja. Namun, aku harus mengakui bahwa aku seorang istri yang bahagia. Dengan usaha berkebun, rasanya cukup memberiku pengakuan sebagai perempuan. Tidak cuma terjebak di dalam rumah. Sibuk menyilangkan berbagai tanaman dan bunga-bungaan. Sesekali mengikuti pameran, membeli stand sebagai peserta. Sampai-sampai pernah ada majalah wanita yang mengekspos hasil penyilangan anggrekku. Lalu makin banyak orang berdatangan ke kebunku. Aku bangga. Tato selalu membesarkan hatiku dan mendorongku. Aku mempunyai penghasilan, bahkan kadang melebihi jumlah yang disetorkan suami setiap bulannya. Ada kebanggaan, ada pengakuan dari orang. Adakah yang menuntut lebih dari itu?
Kini Tato makin sibuk dengan aktivitas-aktivitasnya, kadang tidak pulang. Dengan berbagai penelitian dan kegiatan nonprofitnya. Selama di rumah dia enggan membahas pekerjaan. Anak-istri yang utama, katanya.
”Aku pulang bukan untuk memindahkan pekerjaan.”
Saat di rumah Tato selalu mengajak bercinta. Dia tidak peduli dengan bau tanah atau pupuk yang seharian menjadi tempatku berkubang. Keletihanku menumbuhkan rasa semarak memandang wajahnya yang merah ketika sampai puncak. Lenguhannya saat mengejang, masih kuhitung dengan lega. Ah, tapi aku sering mendahuluinya mencapai puncak rasa. Saat begitu dia selalu menepuk-nepuk pipiku dengan gemas.
”Eh, ganti aku dong.”
Aku pun menikmati lenguh-lenguhnya dengan kegelian. Dia akan terus menindihku hingga napasnya normal. Lalu beringsut pelan, memberiku kesempatan ke kamar mandi. Dia akan mengikutiku untuk berbersih diri. Tangannya mencolek gunduk pantatku.
”Nanti sekali lagi.”
Dia selalu berkata begitu, meskipun langsung mendengkur sampai pagi.
Aku menikmati hari-hariku. Entah kenapa aku suatu hari bertanya.
”Kok makin sering bermalam?”
”Ya?” dia agak tergagap.
”Nggak, nggak. Nggak jadi.” tukasku segera.
Aku merasa bersalah menanyainya. Aku hanya berbasa-basi, agar tahu ke mana dan dari mana. Aku tidak suka bertanya tentang aktivitasnya, apalagi dia pasti meng-sms jika bermalam. Cuma aku merasa akhir-akhir ini makin sering bermalam. Dahulu sangat larut malam pun dia pasti pulang. Tiap pagi Balada suka membangunkan papanya. Dia bertanya terus kalau bangun tidur tidak menjumpainya. Ibuku yang pendiam ternyata juga turut memperhatikan hal itu. Aku tahu hati ibu lebih peka. Aku tidak mau ada pihak yang mencampuri rumah tanggaku. Untunglah ibu tidak menanyaiku lagi. Bagiku, kebahagiaan itu akan bernyala di mana kita berada. Itulah caraku memupus kecurigaan. Jadi, mungkin saja memang aku yang cenderung berlebihan. Setiap dirundung pertanyaan, aku beranjak ke kebun. Menikmati kesendirian dengan berbagai tanaman dan bebungaan. Rasanya menjadi tidak sendirian. Memangkas bagian tanaman atau menaburkan beberapa ramuan pupuk, hatiku menjadi tenang. Rasanya malam menjadi tidak panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H