Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Seraut Nan Utuh (9)

23 September 2014   06:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

CINTA MENCAIR

Tato, waktu telah bergulir. Sebuah tembang cinta telah mengalun dari sekeping hati yang terus saja didendangkan. Aku mendengar suara merdu, syahdu, dan tak membosankan. Tembang itu menenggelamkan diriku ke dalam kubang lamunan. Secarik puisimu yang menyuarakan hati, telah kutepis dan kusingkiri. Puisi itu memang kusimpan sampai kini. Jujur saja, aku tidak peduli. Masa kamu sudah berbuntut satu masih mau mencoba wanita lagi. Semula aku tidak begitu meladeni. Aku tidak mau merusak pagar ayu. Dengan idealis aku menapaki jalan hidupku. Waktu pun berlalu mengikuti terbit dan tenggelamnya matahari. Kadang aku bertanya-tanya, benarkah kamu mempunyai hati buatku?

Aku ragu, Tato. Anakmu satu. Aku memang lugu. Apa sih kelebihanku, To? Buah dadaku mungkin tak sebesar punya istrimu. Pinggulku tak selebar milik istrimu. Ah, tersenyumlah sepuasmu. Aku memang sering merasa ge-er dengan menyimpan pepatah kuno ”Cinta tidak harus saling memiliki”. Keraguanku mengalun cukup lama. Tak dinyana. Ruang mungil itu menjadi saksi pertemuan dua hati. Semula aku cuma ingin berbuat usil saja. Tiba-tiba kamu mengelus rambutku, aku balas mengecup pipimu. Kamu mendekapku, aku tersentak. Ada rasa nyaman, kehangatan menjalar di tubuhku. Aku enggan beranjak, apalagi menolak.

Mengapa aku ingin dekat-dekat kamu. Sorot matamu membara, aku suka. Tanganmu yang nakal, aku terima. Akhirnya kita selalu mencari peluang untuk bisa berdua. Keheningan malam, lampu ruang yang diredupkan. Aku tidur di pangkuanmu. Hatiku meronta dalam gulana, pikiranku melayang-layang. To, kamu telah memanjakan hati seorang kepala bagian perusahaan. Kegaranganku menghadapi bawahan, langsung luluh dengan usapan. Rasanya hari-hari bersamamu begitu indah. Merekah. Aku masih ingat, kamu justru tersenyum dengan paras membara, saat aku mau tersedak, sebab kamu bergerak terlalu mendesak.

Tato, kamu bagai gunung yang mau meletus. Aku sempat bingung. Bagaimana jika aku tidak tahan membendungnya. Bagaimana kalau kamu sungguh-sungguh menceburkan diri ke sana. Nyaris aku tidak kuasa menahannya. Pergumulan tidak terelakkan, aku pun bergelora dan menerima saja. Ah, untung akhirnya tumpah. Aku merinding dengan pasrah. Basah. Ketika itu aku baru paham, mengapa Tuhan bertanya kepada adam. Di mana kamu gerangan? Di dalam dosa yang indah Adam dan Hawa bersemayam. To, hatiku memang untukmu. Tapi jangan jahili tubuhku berlebihan. Kadang aku sempat berpikir, mengapa kita tidak menikah saja. Bukankah lelaki boleh mempunyai dua istri? Membangun rumah tangga yang indah, asal tidak serakah. Hatiku menolak, aku lebih bebas mencintaimu dengan lajangku. Aku masih tekun menghitung hari. Aku rela lama menanti. Aku mau bergumul lagi, dengan segenap hati, dengan cinta yang lebih bernyala. Saat ini kamu mungkin sedang bermesraan dengan istri. Aku iri. Aku benci. Aku cinta kamu. Sungguh mati.

Suatu ketika aku sedang berada dalam ruangan ber-ac. Rasanya pengap menghadapi 30-an kepala. Mengevaluasi proses kerja. Berdiskusi tentang perluasan jaringan. Aku melarikan diri dari situasi rapat. Kubiarkan mereka berencana. Berhitung aktiva dan pasifa. Menyusun strategi keseimbangan neraca. Mengantisipasi bursa saham yang makin sulit diterka fluktuasinya. Aku sengaja menyendiri. Saat komisaris mendekatiku, aku hanya berujar bahwa aku ingin sendiri.

Tato, kasih itu sungguh mendasari ketulusan. Aku tidak heran bila rasa yang terwujud lewat sikap dan kata akan menggerakkan kerinduan. Aku merasakan persamaan di antara kita berdua. Aku juga suka menulis. Aku mendengarkan musik yang melankolis, tapi aku tidak mau cengeng. Aku pun menyukai kesederhanaan. Aku kadang demonstratif kepada anak buah yang kurang apresiatif. Sepulang mengantor aku menjadi perempuan tomboi, sedikit ngoboi. Hidup di luar kantor menjadi kompensasi dari keseharian profesi yang mendudukan aku dalam posisi kunci.

Aku menemukan sesuatu dalam dirimu, sesuatu yang tidak kutemukan pada lelaki lain. Kesalahanku adalah kamu sudah beristri. Karena ulahmu yang tidak mengada-ada, aku rindu bercintaan. Adakalanya mataku berkaca-kaca, tapi bukan air mata kesedihan. Air mataku menggelantung dari rasa bahagia. Aku merasa kita tidak bersekat lagi, untuk saling menyapa dan mengharapkan. Kamu telah membangun dermaga, tapi cinta tidak kuasa mengikat gelora. Aku suka kamu mau mengajakku berlabuh, sebentar membuang sauh. Kita sampyuh dalam cumbu yang gaduh.

Tato, aku sering kelabakan saat muncul rindu. Kamu anggap aku kekanakan? Awas, kalau berpikir begitu. Saat bersua, kugigit lenganmu! Dalam rindu yang bersahutan, aku memilih menulis. Tak peduli di mana tempatnya. ingin menulis, ya menulis. Kalau ada yang melirik curiga, kubalas dengan tatap tajam. Eh, dalam suatu meeting aku pernah  tergagap ditanya branch-manager tentang laporan situasi pasar saham. Malapetaka itu lewat. Ada Sophian, si manajer pemasaran yang menyodorkan deskripsi bursa saham. Tentu, dia melakukannya dengan diplomasi yang menyenangkan.

”Ibu Lila, ini berkas yang kemarin dititipkan,” ucapnya dengan kalem.

”Terima kasih.” Sahutku dengan rikuh.

Sophian sudah sering mengajakku untuk makan malam. Aku tidak pernah pergi dengan seseorang tanpa haluan pasti. Dia memang mempesona. Aku tidak terpana. Aku hanya membalas dengn tawa. Aku tidak sudi dianggap perempuan sembarang. Sophian memang tipe lelaki yang dikejar perempuan. Mungkin dengan pergi bersamanya akan memberi tamasya yang menawan. Aku jarang percaya pada tamasya sementara. Aku menyukai lajang. Sikap begini ternyata dipandang orang dengan rasa ngeri berlebihan. Aku senang. cuma kamu yang berani sembarangan. Kamu memang edan, aku pun kegilaan. Kamu memang setan yang memberiku kehangatan. Aku pun kesetanan.

Aku pernah berpikir licik Sophian. Begini. Aku yakin dia kadang membuntuti kepergianku. Aku berharap, pas saat kita pergi berdua dan dia berada di belakang kita. Kita bermalam dengan pintu kamar terbuka. Kita bercengkerama. Kita berkubang dalam mesra. Sungguh, aku begitu ingin memandang rona wajahnya, ketika kita bergumul di ranjang. Kita sedang berpeluk tanpa selembar benang di badan. Sebelum Sophian akan pingsan, aku akan berteriak dari balik bahumu.

”Lelaki ini bukan Arjuna. Dia selalu menawarkan cintanya!”

Aku yakin Sophian pasti malu. Aku berharap dia tidak berani lagi mengganggu. Aku ingin dia segera berlalu. Aku hanya menginginkan kamu. To, aku rindu. Di mana kamu? Beberapa hari lagi aku meeting di Bali. Di Jimbaran. Resor yang dulu. Terbanglah ke sana. Kalau tidak punya uang, pakai kartu kreditku. Kamu pernah kuberi satu kan? Sikapmu terhadap penawaran orang lain memang keranjingan. Kamu tidak mau memanfaatkan fasilitas secara gampangan. Buat apa aku titip kartu, kalau kamu tidak pernah gunakan. Aku tidak mengasihani kamu, aku tahu kamu tidak mau. Tapi saat terima pesanku, itu berarti rinduku yang tebal. Terbanglah ke tempatku. Aku ingin berlama-lama menatapmu. Aku suka saat kamu tidur pulas dan membenamkan kepala ke ketiak. Kamu kadang tidur dengan suara ngorok. Aku sangat rindu suara itu.

”Lila, benamkan aku.”

Itu permintaanmu selalu. Tentu, sesudah kita habis begitu. Tanpa ragu aku mengelus kepalamu. Aku terus-menerus menciumi mukamu yang pulas.

To, aku pernah berkhayal ikut dalam mata kuliahmu. Menjadi mahasiswimu lagi. Aku akan duduk di deret depan. Lalu kutatap wajahmu tanpa berkedip. Kemudian dengan pelan kulepas kancing bajuku, kubiarkan dadaku ternganga. Apa reaksimu? Menubrukku? Menciumiku? Beranikah kamu? Mengapa kamu betah di kampus.Please, aku kangen mulutmu yang rakus. Aku rindu tingkahmu yang tidak banyak bicara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun