Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Romantis 17

21 Oktober 2014   02:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:19 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MODAR!

Senapannya meletup dengan irama sentak yang giris.

”Modar kowe!”

Teriaknya saat sasaran meronta di dalam air. Wajahnya tersenyum, lalu muncul suara terbahak dalam kepuasan. Tangannya segera meraih tali nilon yang mengait pada ujung pelur besi. Peluru yang panjangnya sekitar sepuluh sentimeter dan berbentuk gilig kayak rokok itu menembus telak badan ikan yang lebarnya setelapak tangan. Setelah ikan itu terangkat, terus dilempar dilempar begitu saja di darat. Orang itu mulai memompa senapannya lagi, satu, dua, tiga ... sampai kali dua puluhan. Jari-jarinya menyusupkan peluru ke laras, memasukkan laras ke lubangnya, didorong ke bagian lubang peletup. Dia duduk di atas dahan pohonyang menjorok ke sungai. Beringsur-ingsut sebentar, lalu matanya berkilat-kilat menjelajahi bawah permukaan air sungai.

”Modar kowe!”

Tangannya kembali sibuk menarik-narik tali nilon. Air sungai berdebur keras, si korban mencoba melepaskan diri meskipun badannya telah berlubang. Meronta dalam ketakberdayaan. Wajah pemburu ikan makin cerita menonton pemberontakan sia-sia itu.

”Dapat berapa, Dul? Teriak-teriak melulu!”

“Baru sembilan!”

”Wah, aku baru dapat tujuh!”

”Disingsoti biar kutug-kutugnya ngambang!”

”Ya!”

Perburuan pun berlanjut. Aliran sungai yang tenang menjadi pemandangan yang menggemaskan bagi para penembak ikan. Suara letup angin yang menyeruak dari lubang senapan muncul bersahutan. Pertanda beberapa ikan menggelepar dengan lubang sebesar kelilingking orang dewasa menembus sisi atas badannya.

Sore harinya, sesampai di rumah, ikan-ikan dibersihkan isi perutnya. Dipotong kecil-kecil. Dibumbui dan diraupnya ke penggorengan, aroamnya menyebar hingga ke dasar perut. Anak-anaknya mengunyahnya berikut tulang-tulangnya.

”Anak-anak, ayah teringat ketika ikan-ikan ini meronta-ronta di dalam air sungai.”

Anak-anaknya berpandangan, lalu melanjutkan makan. Perkataan ayahnya menambah rasa lahap mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun