Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Romantis 32

8 November 2014   03:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RANTING

”Aku tidak mudheng dengan cerita-ceritamu.” ucap temanku. Ketika mendengar itu aku tersipu. Rasanya aku telah menimbun beribu makna di benak kepalanya. Lalu aku teringat cerita kaum sufi yang mengajari kita untuk membawa beban hidup satu per satu. Ibarat ada seonggok ranting yang besar, kita akan kelelahan membawanya sekaligus sampai di rumah. Kita tentu membutuhkan tenaga dan siasat yang berlipat. Berharap ikatan besar itu segera teronggok di sudut pekarangan rumah, sungguh sesuatu yang mustahil.

”Kau merangkai cerita-ceritaku?” tanyaku sembarang saja.

”Aku tidak merangkainya, aku cuma mengurutkannya.”

”Barangkali di sinilah uniknya. Suatu cerita tidak untuk diurutkan, apalagi dinomori untuk menunjukkan tahap adegannya.”

”Terus, untuk apa ada latar, ada tokoh, ada peristiwa, ada konflik?”

”Menurutku, sekadar untuk menunjukkan bahwa di dalamnya ada sesuatu. Sesuatu yang leboh pokok dibandingkan unsur-unsur yang kasat mata. Kau juga tahu, mata cenderung mengibuli kita sebab jarang mencerna dengan leluasa.”

”Maksudmu?”

”Sederhana saja. Apabila kita melihat semut-semut yang berpapasan dengan sesamanya, kita sudah telanjur menyikapinya sebagai bentuk kerukunan. Kita tidak pernah mencoba untuk melihat dengan cara berbeda. Misalnya, di antara semut-semut yang berpapasan tentu ada juga yang memisuhi sesamanya. Bahkan, barangkali malah saling meludahi.”

”Ah, kau bisa saja.”

”Oke. Kau masih cerita tentang seseorang yang ingin membawa seonggok besar ranting dari hutan ke rumahnya?”

”Ya. Cukup satu-satu membawanya, lebih ringan.”

”Ibaratkan saja begitu. Cerita itu ibarat seonggok ranting yang akan membebani pikiran kalau ditangkap secara spontan. Ambil saja satu bagian, tinggalkan bagian-bagian yang lain. Besok baca kembali, jumput lagi sebagian saja, taruh bagian yang lain. Begitu seterusnya.”

”Aku tidak sabar!”

”Yah, sudah kau tidak usah membaca cerita.”

”Lha, aku sangat ingin membacanya.”

”Lha, buat apa kalau tidak sabar.”

”Lho, aku orangnya praktis.”

”Lho, cerita itu lebih praktis daripada kau!”

”Ah, kau malah mengolokku!”

”Ah, tahukah kau? Cerita-cerita itu yang telah mengolok-olok kita?”

”Weh, kau yang bikin kan?”

”Weh, aku cuma melempar-lempar ranting saja.”

”Duh, lagi-lagi ranting!”

”Itulah. Semua cerita itu hanya ranting-ranting saja. Kalau kau ingin memungutnya, raih saja.”

”Tidak harus semuanya?”

”Ya.”

”Jadi, aku tidak perlu menumpuknya?”

”Buat apa?”

”Ah, kau!”

”Kalau kau menumpuknya, hidup menjadi berat.”

”Jadi, satu ranting saja, cukup?”

”Satu atau dua tidak ada bedanya.”

”Gimana, sih?”

”Cukupkan dengan satu ranting. Apabila masih belum cukup: ambil satu ranting lagi.”

”Kau bikin pusing.”

”Jangan hidup kalau tidak mau pusing.”

”Terserah.”

”Itulah. Kau memang mudah menyerah.”

Aku terdiam. Pasrah. Dia mengangkat bahu, memandang diriku dengan raut ragu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun