Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Romantis 37

13 November 2014   06:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BERTENGKAR

Hujan masih lebat. Aku nekat pergi. Di jalan banyak kubangan air. Sepatuku basah. Badanku menggigil. Payung njeplak ke atas, langsung kulemparkan begitu saja. Aku berlari ke emper toko. Di sana sudah ada dua gelandangan sedang sengit bertengkar. Mulut mereka berbusa, saling teriak. Agaknya tentang pembagian rezeki hari itu. Orang yang kerempeng mengumpat kotor, sambil mencopot koreng palsu di pipinya. Orang yang agak tambun membalas umpatan dengan lebih kasar.

Tiba-tiba mereka cakar-mencakar. Saling seruduk. Pergumulan pun terjadi. Si Kerempeng bernapas agak tersengal, lehernya dicekik Si Tambun. Lalu Si Kerempeng menonjok muka yang mencekiknya dan ganti mencekik Si Tambun. Aku menyilangkan tangan di dada. Ah, tontonan yang langka, pikirku. Hujan makin deras, seolah langit kelebihan uap air. Air meluap naik ke trotoar tempatku berteduh.

Dua gelandangan itu masih berkelahi dengan hebat. Keduanya kini mulai sungguh-sungguh terluka. Darah mereka bercampur dengan rintik hujan yang lebat. Mereka terus saja bergumul. Perkelahian mulai bergerak ke tengah jalan raya. Agaknya mereka tidak peduli dengan situasi sekeliling. Hujan bersorak menyaksikan pergumulan di tengah jalan itu. Badanku kedinginan, menggigil. Bulu-bulu romaku merinding.

Dari arah barat  sebuah truk melaju, menerjang deras hujan. Laju truk menghempas kedua gelandangan yang berkelahi tanpa ampun. Truk itu nggeblas. Aku lihat keduanya mecedel. Remuk. Bahkan, ada sebagian anggota tubuh yang terpisah. Aku terhenyak. Mataku nanar. Dari arah timur truk itu kembali, di belakangnya ada mobil patroli polisi. Sopir truk menuding-nuding diriku. Alisku terangkat, dadaku tercekat. Aku digelandang petugas ke mobil patroli polisi.

”Saudara, pengemudi truk kan?” Bisik sopir truk itu.

Aku mengangguk. Aku digelandang polisi dengan agak kasar masuk ke mobil patroli. Aku menoleh sekilas kepada sopir truk, bibirnya tersenyum lebar sembari melambai dengan riang.

Aku teringat anak-anak dan istri di rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun