Mendapat jatah sebagai Ketua ASEAN tahun 2023 agaknya menjadi berkah tersendiri bagi Indonesia. Apalagi untuk sektor pariwisata yang paling dimanjakan dengan kehadiran tamu-tamu besar dari negara tetangga.
Setelah dihempas pandemi covid-19 yang hadir ke tanah air sejak Maret 2020 silam, industri pariwisata kala itu bisa dibilang 'sekarat' akibat pembatasan mobilitas global. Tapi, sektor itu seakan mendapat ramuan ajaib dari ajang KTT G20 yang diikuti dengan Keketuaan Indonesia pada ASEAN.
Bicara soal pandemi, tak diragukan lagi bahwa petaka itu membuat masyarakat dunia harus memulai kebiasaan baru untuk lebih higienis pada segala aspek kehidupan. Pemerintah melalui Bank Indonesia pun meluncurkan produk QR Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai inovasi pembayaran digital bagi masyarakat ketika berbelanja.
Perlahan-lahan, produk itu mulai akrab dengan keseharian masyarakat, khususnya bagi anak-anak muda. Ketika milenial atau gen-z mampir ke kedai kopi, retail, restoran, dan tempat lain untuk menghamburkan uang, pasti mereka menanyakan soal sistem pembayaran digital.
Wajar saja, penggunaan QRIS dalam kehidupan sehari-hari sangat memudahkan baik bagi masyarakat ataupun bagi pelaku usaha. Dari sisi masyarakat, mereka tak perlu repot-repot untuk membawa uang tunai jika hanya ingin bersenda gurau dengan kerabat di kedai kopi atau restoran cepat saji. Pun demikian bagi pelaku usaha, mereka tak usah lagi memikirkan uang receh untuk kembalian, serta termudahkan dalam menyusun laporan keuangan.
Dampaknya memang tak terlihat secara langsung terhadap perekonomian nasional. Tapi bayangkan, struktur dunia usaha di Indonesia didominasi oleh UMKM dengan porsi 99% atau lebih dari 64 juta unit usaha. Amat sangat disayangkan apabila besarnya porsi UMKM pada dunia usaha itu tak sejalan dengan peran mereka terhadap perekonomian.
Teten Masduki sebagai Menteri Koperasi dan UKM sering bilang bahwa UMKM di Indonesia masih sangat banyak yang mencampuradukkan keuangan bisnis dengan keuangan rumah tangga.
Untuk menggambarkan statement Pak Menteri, sebutlah Pak Yanto punya bisnis warung makan, setiap harinya dia bisa meraup omzet di kisaran Rp2 juta-Rp3 juta. Tapi, Pak Yanto tak pandai dalam hal pembukuan, uang yang ia dapat dari bisnisnya adalah uang yang disetor ke istrinya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Jika begitu sistemnya, pantas saja peran UMKM kerap disepelekan. Apalagi, masih banyak dari mereka yang belum punya Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai dokumen legalitas untuk mengurus perpajakan hingga pinjaman usaha.
Coba bayangkan jika semua UMKM bisa terdata dan mengantungi NIB atau sebutlah rutin membayar pajak, pasti sumbangsihnya jauh lebih besar buat negara. Ketika mereka ingin mengakses pinjaman pun, pasti perbankan dengan suka hati menyediakannya apabila pembukuan dan laporan keuangan mereka tersusun rapih.
Nah, dari situlah baru terlihat peran QRIS yang diluncurkan oleh Bank Indonesia. Produk tersebut akan memudahkan para pelaku usaha untuk menyusun laporan keuangan, pemasukan, pendapatan, hingga laba sebagai bahan pertimbangan perbankan dalam menyalurkan pinjaman.