Siapakah perempuan pedesaan Aceh? Bagaimanakah perempuan pedesaan ini memetakan identitasnya dalam ruang publik? Seberapa jauh mereka berperan dalam mendorong perubahan sosial dan membangun perdamaian Aceh yang berkelanjutan?
Di atas adalah sederetan pertanyaan yang hingga kini belum tuntas dijawab. Pirmatia Romana Wulandari, Master of Development, Specialization Social Inclusion, Gender and Rural Livelihood dari Van Hall Larenstein University Wageningen Belanda dalam thesisnya yang berjudul Women and Peace-building in Aceh Barat District, Indonesia: Women's Roles and Experiences and the Potential for a Gender Sensitive Approach Based on a Case Study of NGO Sunspirit menyoal pentingnya peran perempuan pedesaan dalam upaya mendorong perubahan sosial dan pembangunan perdamaian Aceh yang berkelanjutan.
Menurutnya wajah perempuan Aceh saat ini berbeda dengan sejarah perempuan Aceh masa perjuangan memperebutkan kemeredekaan. Pada masa itu perempuan mendapat tempat terhormat dalam ruang publik, bahkan berbagai kebijakan strategis diambil oleh kelompok perempuan. Sebut saja misalnya Cut Nyak Dhien, tokoh pejuang perempuan Aceh yang terkenal gigih mengusir kompeni Belanda dari tanah Rencong.
Namun pada masa konflik RI-GAM dan pasca-konflik peran dan keterlibatan perempuan dalam ruang publik menjadi sangat senyap. Menurut Prima ini adalah sebuah paradoks besar. Sebuah keadaan sosial yang sangat bertolak belakang. Justru pada pada konflik, perempuan Aceh dijadikan objek kekerasan, baik dilakukan oleh pihak TNI maupun oleh anggota Gerakan Aceh Merdeka.
Lantaran itu, adalah tugas semua pihak, bukan hanya perempuan itu sendiri yang berperan untuk mengembalikan identitasnya. Perempuan harus diberikan kesempatan yang sama di ruang publik sebagaimana halnya laki-laki. Kesempatan dalam mengambil keputusan dan memberikan pendapat, kesempatan dalam memimpin dan membuat kebijakan, karena perempuan sejatinya memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia.
Namun pertanyaannya mengapa dalam ruang publik, perempuan belum mendapat tempat yang layak? Mengapa perempuan masih dianggap sebagai kaum nomor dua? Perempuan seakan-akan ditakdirkan menjadi kaum kelas dua, sehingga belum memiliki akses yang lebih untuk hadir di ruang publik.
Banyak dari kita menyadari bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki harkat dan martabat sama, tetapi kekangan kultural dan struktural yang patriarkhi, dengan didukung pandangan sosial yang menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah, menjadikan perempuan tetap terjebak untuk hanya berkutat dalam ruang terbatas bernama keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H