Beberapa hari terakhir ini, tanpa banyak yang tahu sebenarnya bangsa kita sedang bersedih. Kita nyaris kehilangan salah satu asset yang menjadi sendi peradaban bangsa. Andai rakyat tidak sigap menanggapinya, sudah barang tentu kita sebagai bangsa akan benar-benar kehilangan sesuatu itu untuk selamanya.
Sesuatu itu – asset yang menjadi satu sendi peradaban itu – adalah sebuah perpustakaan milik Yayasan Budaya Sulawesi Selatan (YBSS) yang berdiri sejak tahun 1949 di Makassar. Seperti dilukiskan Kompas.com (27/03/2011) perpustakaan tersebut nyaris tidak terawat. Di sana hanya tertinggal Muhamad Salim, ahli bahasa Bugis, dan seorang pembantu bernama Ikhsan yang setia datang.
“Bau apak tiba-tiba menyergap begitu pintu sebuah perpustakaan milik yayasan dibuka. Sudah lama listrik dan telepon di situ tidak menyala. Lemari-lemari buku tampak berdebu dan buku-buku yang usianya ratusan tahun sudah melapuk. Sebuah peradaban yang perlahan hancur” kisah-telusur Kompas.com.
Bayangkan…apa yang bakal terjadi jika perpustakaan/pusat dokumentasi yang disebut sebagian orang sebagai yang terlengkap di dunia, (Kompas.com) lantaran menyimpan sekitar 16.316 judul buku fiksi, 11.990 judul buku nonfiksi, 457 judul buku referensi, 772 judul buku/naskah drama, 750 map berisi biografi pengarang, 15.552 map kliping dari berbagai sumber, 610 lembar foto pengarang, 571 judul makalah, 630 judul skripsi dan disertasi, serta 732 kaset rekaman suara dan 15 kaset rekaman video dari para sastrawan Indonesia itu terbengkelai dan tidak diperhatikan?
Tentu saja, kita tidak hanya akan bersedih. Melampaui dari sekedar sedih, kita pun akan berduka karena kehilangan masa lalu, sejarah, catatan perjalanan kehidupan kita sebagai sebagai sebuah bangsa yang besar. Kita akan kehilangan kenangan yang membuat kita selalu dan senantiasa kuat menatap masa depan. Kita kehilangan orientasi, bahkan kita akan kehilangan keadaban. Tragisnya lagi,jika itu sampai terjadi, maka sudah barang tentu kita akan menjadi bangsa yang tidak beradab, lantaran mengabaikan peradaban.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan rumah kecil penuh debu berbauk apak yang menyimpang jutaan peristiwa, kenangan, catatan harian dan refleksi perjalanan kehidupan bangsa, di sini, di Jakarta, tepatnya di Senayan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru melanjutkan rencana pembangunan gedung DPR yang baru yang menelan biaya 1,2 Triliun.
Seperti dilansir Kompas.com (27/03/2011), rencana pembangunan gedung DPR baru akan tetap dilanjutkan, kendati memang telah menuai kontroversi sejak pertengahan tahun lalu. Selain lantaran dana Rp 1,2 triliun yang dinilai terlalu besar, sejumlah fasilitas yang akan melengkapi gedung tersebut juga menuai kritik. Akibat derasnya kritik publik, rencana pembangunan yang ditargetkan dimulai pada Oktober 2010 lalu akhirnya ditunda. Namun, melalui Sekretariat Jenderal DPR akhirnya memastikan bahwa proses pembangunan akan dimulai pada 22 Juni 2011. Saat ini, DPR akan memulai proses tender yang diikuti 11 perusahaan yang sudah mendaftarkan diri.
Inilah fakta yang sudah sedang terjadi di bangsa ini. Rupa-rupanya, para elite politik, pejabat dan pemerintah bangsa ini bukan dilahirkan dan dibesarkan di tanah ini. Entahlah, apa yang ada dalam benak para pemimpin dan pejabat kita, apa yang sudah sedang mereka dipikirkan tentang pembangunan bangsa yang sejahtera, adil dan bermartabat? Sederetan pertanyaan lain dapat kita ajukan: Apa yang menjadi prioritas untuk pembangunan bangsa ini? Kesenangan sekelompok elite politik ataukah kebutuhan warga bangsa? Mana yang mesti diselamatkan, peradaban dan jati diri bangsa atau popularitas dan kekuasaan?
Catatan ini tidak menawarkan solusi, saya cukup diri mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas untuk direfleksikan bersama. Namun yang pasti bahwa membangun bangsa yang beradab, bermartabat dan berbudaya tanpa berkaca pada lembaran-lembaran masa silam yang sudah membangun dan mengokohkan peradaban bangsa adalah mustahil. Gedung DPR baru itu penting, tetapi bukan prioritas lantaran itu tidak mendesak. Tetapi membangun peradaban bangsa adalah selalu dan kapan saja. Jika tidak jangan pernah salahkan masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H