Pukul 17.45 WIB, Sondang Hutagalung menghembuskan napasnya yang terakhir di ruang intensive care unit (ICU) rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat. Mahasiswa Universitas Bung Karno dan juga aktivis ini akhirnya berpulang ke Yang Maha Kuasa setelah tiga hari mengalami koma karena menderita luka bakar yang parah. Pada hari yang sama 10 Desember 2011, persis ketika dunia merayakan Hari Hak Asasi Manusia, tepat pukul 18.45 WIB, Nunun Nurbaeti Darajatun pun tiba di Indonesia. Istri anggota DPR RI dari fraksi PKS, Adang Darajatun ini kembali setelah, sudah sejak pukul 19.06 WIB pada Selasa 23 Februari 2011 terbang menggunakan pesawat Lufthansa LH 0779 tujuan Frankfurt Jerman.
Revolusi, Pesan Sondang Sebelum Pulang
Sondang pulang dengan tubuh penuh luka. Kata dokter dan perawat, derita luka bakar parah yang menimpa Sondang lebih dari 90 persen sehingga tipis kemungkinan selamat. Aksi heroik Sondang, demonstrasi yang dilakuan dengan 'sadar' melalui aksi bakar diri di depan istana Negara sampai pada kepergiannya yang abadi, membuka mata kita semua anak-anak negeri bahwa (mungkin) hanya dengan revolusi segala ke-tak-becus-an yang menggerogoti republic ini bisa diatasi.
Mengapa tidak? Sebagian dari kita mungkin geleng-geleng kepala atas 'kenekatan' Sondang. Lantaran apa yang sudah dilakukan Sondang baru pertama terjadi di Republik ini (mungkin sejak Nusantara menguasai Nusantara). Tapi jika hendak disuluk secara bijak, 'kenekatan' Sondang merupakan jawaban sekaligus 'ledakan' amarah dan frustasi anak-anak negeri ini atas situasi yang 'tak becus itu'.
Korupsi mengerat merata, meminjam istilah Budiarto Shambazy, di tiga cabang kekuasaan negeri ini: eksekutif, legislatif dan yudikatif dari pusat sampai ke daerah. Tulis Shambazy, di Kompas edisi 10 Desember kolom Politik-ekonomi bahwa tikus-tikus koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan (itu). Korupsi tidak lagi sekedar mengentit alias mengais-ngais dari anggaran belanja, tetapi juga menjarah anggaran untuk dibagi-bagikan sejak ia ditetapkan oleh eksekutuf dan yudikatif.
Jika, tiga cabang kekuasaan itu bertabiat 'bangsat', bayangkanlah apa yang akhirnya diterima masyarakat, warga bangsa? Kemiskinan tidak akan pernah sudah, ketidakadilan akan menjadi cerita abadi, konflik dan perpecahan atas nama suku dan agama akan menjadi laten, hukum digadai, Singkatnya, hak-hak dasar manusia (HAM) sebagai warga bangsa diinjak dan diperkosa. Hal itu bisa terbaca pada butir-butir pancasila yang selalu dipelintir, dan undang-undang dasar yang nyaris tidak dipercayai, apalagi diamalkan.
Revolusi. Hanya itu pesan Sondang Hutagalung. Aksi nekat bakar dirinya adalah makna atas pesan itu. Orde (baru) sudah berganti reformasi, tetapi ketidakpastian tetap menjadi-jadi. Mungkin sekarang saatnya anak-anak negeri harus berpikir agak heroic, bahwa hanya dengan 'revolusi' ketidakmungkinan menjadi mungkin.
Nunun Kembali, Pura-Pura Pikun Lagi?
Nunun akhirnya pulang dari rumah sewaannya di distrik Saphan Sung, 18 KM dari kota Bangkok (setelah dibekuk Interpol pada Rabu malam 7 Desember 2011) dan dijemput Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika tiba dan keluar dari pintu kargo bandara, buronan KPK itu tidak hanya disambut oleh keluarga dan barisan pagar betis polisi, tetapi juga katanya (KPK sudah mempersiapkan tim dokter) untuk memeriksa Nunun. Buronan KPK terkait kasus suap DGS Bank Indonesia ini akan diperiksa tim dokter, selain untuk memastikan kondisi kesehatannya, juga supaya bisa memastikan kepada publik kalau ibu tiga anak ini tidak pikun lagi.
Sebab seperti diketahui, dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia tahun 2004 yang dimenangkan Miranda Swaray Gultom, Nunun adalah saksi kuncinya. Nunun disebut sebagai tersangka karena menjadi fasilitator pemberi suap lewat anak buahnya, Arie Malang Judo. Namun dengan alasan sakit lupa berat alias pikun Nunun sama sekali tidak memenuhi panggilan pengadilan. Padahal, Sumarni, mantan sekretaris Nunun di PT Wahana Esa Sembada mengatakan di depan para hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 05 Februari 2011 bahwa selama 14 tahun dirinya bekerja dengan Nunun, tidak pernah sekalipun melihat kelakuan aneh Nunun yang menampakkan gelagat orang yang sedang menderita penyakit lupa ingatan.
Pura-pura pikun. Hanya itu yang (barangkali) menjadi kecemasan public tanah air atas kembalinya Nunun. Ke-pikun-an itu juga menjadi kecemasan public atas proses hukum yang nantinya berlangsung. Tidak hanya untuk kasus Nunun tetapi juga untuk semua kasus korupsi yang mendera-derita negeri ini. Pelaku dan atau tersangka akan 'pura-pura pikun' ketika dipanggil ke pengadilan untuk melanjutkan proses persidangan. Pada saat yang sama, aparat penegak hukum pun bisa saja berpura-pura pikun, lupa-lupa ingat, ingat-ingat lupa atas setiap proses peradilan yang seharusnya menjadi tanggung jawanya agar segera dituntaskan.