Nusa Tenggara Timur Itu Khas dan Unik
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu propinsi yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikannya terletak bukan hanya karena secara geografis, NTT merupakan sebuah propinsi kepulauan, (yang terdiri atas tiga pulau besar: Flores, Timor, dan Sumba, serta puluhan pulau kecil lainnya) tetapi juga karena secara cultural NTT dilatari oleh beragam etnis, suku, kebiasaan, budaya dan bahkan bahasa daerah. Tidak hanya itu, secara topografis pun terdapat perbedaan yang mencolok (iklim, hasil bumi dan sumber daya alam) antara pulau yang satu dengan yang lain.
Kekhasan dan keunikan karena keberagaman dan kemajemukan ini bukan hanya menjadi sebuah khasanah budaya bangsa yang pantas untuk diapresiasi, tetapi juga, serentak itu pula merupakan sebuah tantangan. Di satu sisi, kita mengaguminya sebagai potensi, tetapi di sisi yang lain kita menjadi awas karena mengandung resiko. Resiko terbesar dari dari sebuah kemajemukan atau keberagaman adalah ego ‘sektoral’ (pengabaian atas kemejemukan, dan bahkan penolakan atas kebersamaan lantaran menahbiskan suku, etnik, daerah masing-masing (sendiri-sendiri) baik secara politis maupun kultural sebagai yang ‘lebih baik’)
Etnometodologi, Sebuah Alternatif
Lantaran itu, satu hal yang penting untuk digarisbawahi, sebagai bagian dari upaya menghindari dan meminimalisir resiko adalah strategi intervensi arah pembangunan yang tidak hanya komprehensip, tetapi juga mampu melihat dengan hati selanjutnya memetakan potensi kekhasan dan kemajemukan itu sebagai arah dan titik tolak pembangunan. Dengan kata lain, arah pembangunan harus berangkatdari kekhasan dan keunikan masing-masing sektor (walayah, suku, bahasa dan budaya). Sebab, pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan yang mengedepankan pada penyeragaman dan atau menyeragamkan imput intervensi (kegiatan pembangunan), indicator intervensi dan hasil, pun pula target dan hasil yang mau dicapai adalah sebuah tindakan yang bukan hanya salah arah, tetapi juga merupakan sebuah’dosa’ atas proses pembangunan.
Lantaran itu, saya menawarkan alternative metode pendekatan untuk strategi pembangunan di NTT, yakni melalui metode pendekatan Etnometodologi. Sebelum menjelaskan metode pendekatan ini lebih lanjut, saya mau menggarisbawahi dua hal. Pertama, metodologi ini merupakan tawaran, bukan merupakan sebuah keharusan. Kedua, metodologi ini merupakan pemetaan awal untuk melihat problem dan potensi pembangunan berdasarkan konteks dan situasi yang terjadi pada suatu lingkungan tertentu. Dan di tengah ragam metode, penulis melihat metode ini relevan untuk menjadi titik awal dalam me-rancang bangun pembangunan NTT.
Etnometodologi
Etnometodologi mucnul pada 1950 ditelurkan oleh Harold Garfinkel. Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Penolakannya atas berbagai pedekatan sosiologi kenvensional tersebut melahirkan etnometologi yang kita kenal hingga hari ini. Menurut Garfinkel etnometodologi merupakan penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. (dlm. Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1992: hal. 39-41)
Mendalami definisi Garfinkel, etnometodologi sesungguhnya mengusung sebuah kerinduan yang mendalam akan sebuah kualitas kajian. Tentang kerinduan itu, Paul ten Have dalam Understanding Qualitative Research and Ethnomethodology (Sage Publications: 2004, hal. 17) menjelaskan bahwa Etnometodlogi berkeinginan untuk melakukan suatu studi ilmiah yang bertujuan untuk memahami alam pikir individu (local rationalities) dalam tindakannya di kehidupan sehari-hari. Dari apa yang dimaksudkan Garfinkel dan disebut-jelaskan lebih lanjut oleh Have, sesungguhnya etonometodologi adalah sebuah metode penilitian sosial yang tidak diartikan sebagai sekedar pengumpulan data, tetapi lebih dari itu merupakan bagaimana kita memilih pokok persoalan yang mau dibedah, diteliti dan direproduksi.
Penekanan yang lebih pada dimensi kualitatif penelitian meletakkan etnometodologi sebagai kajian, yang menurut L. Dyson P. dalam tulisannya yang berjudul Etnometodologi sebagai yang ‘peka’ terhadap isu. (dlm. Bagong Suyanto dkk (ed), “Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, KencanaPredana Media Group: 2006, hal. 201). Lebih lanjut, Dyson menjelaskan etnometodologi berusaha memahami masyarakat, bagaimana anggota masyarakat itu berpikir tentang dirinya, tentang apa yang dilakukan oleh mereka (cultural behavior), apa yang mereka ketahui baik tentang dunia di sekitar dirinya maupun dunia di luar lingkungan mereka berada (cultural knowledge) dan benda-benda apa saja yang dibuat dan dipergunakan (cultural artifaks) (Ibid, hal. 202).)
Relevansi Etnometodologi Untuk Me-rancang Bangun Pembangunan NTT
Tiga hal terakhir, seperti yang disebut-jelaskan Dyson adalah poin penting sebagai basis analisis untuk memetakan pembangunan NTT ke depan. Seluruh eleman masyarakat, secara khusus pemerintah sebagai pembuat kebijakan rupa-rupanya perlu untuk memulai strategi intervensi dengan bertitik tolak pada basis analisis etnometodologi.
Pertama-tama seperti yang sudah saya sebutkan pada awal tulisan ini bahwa kekhasan dan keunikan karena keberagaman dan kemajemukan NTT, bukan hanya menjadi sebuah khasanah budaya bangsa yang pantas untuk diapresiasi, tetapi juga, serentak itu pula merupakan sebuah tantangan. Di satu sisi, kita mengaguminya sebagai potensi, tetapi di sisi yang lain kita menjadi awas karena mengandung resiko. Resiko terbesar dari dari sebuah kemajemukan atau keberagaman adalah ego ‘sektoral’ (pengabaian atas kemejemukan, dan bahkan penolakan atas kebersamaan lantaran menahbiskan suku, etnik, daerah masing-masing (sendiri-sendiri) baik secara politis maupun kultural sebagai yang ‘lebih baik’)
Dan tentang hal itu, ego sektoral dan penyeragaman metode pendekatan dalam intervensi pembangunan adalah nyata. Padahal kemajemukan, keberagaman adalah kekayaan yang dapat berdiri sendiri, dan lantaran itu harus dihargai. Bentuk penghargaan kita atas kemejemukan dan keberagaman tersebut adalah dengan meletakkan arah pembangunan yang berdasarkan pada basis kebutuhan masing-masing daerah. Dimana kita, dalam hal ini pemerintah harus memahami masyarakat, bagaimana anggota masyarakat itu berpikir tentang dirinya, tentang apa yang dilakukan oleh mereka (cultural behavior), apa yang mereka ketahui baik tentang dunia di sekitar dirinya maupun dunia di luar lingkungan mereka berada (cultural knowledge) dan benda-benda apa saja yang dibuat dan dipergunakan (cultural artifaks).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H