Dua sosok menyeramkan bagai orang hutan tiba-tiba meyeruak masuk ke pentas. Sebagian penonton terperanjat, sebagian yang lain melepas senyum dan tawa. Di hadapan penonton, keduanya bergoyang-goyang, sesekali menggeleng dan menganggukkan kepala, sesekali bergoyang seperti hendak melompat. Tepuk tangan pecah mengusir senyap malam itu. Tepuk tangan ter-riuh yang didengar sepanjang pementasan berlangsung. Kehadiran dua sosok itu begitu istimewa lantaran tampilannya yang unik dan khas. Bertopeng. Sebagian penonton yang mayoritas remaja lantas melempar tanya: tarian apakah ini?
Itulah tarian Sidalupa yang dibawakan oleh dua penari dari desa Cot Murong dan Suak Trieng kecamatan Woyla Aceh Barat pada Desember 2006. Sudah sejak itu, (di belahan Aceh Barat) saya tidak pernah mendengar dan bahkan menyaksikan lagi Sidalupa ditampil-pentaskan. Sidalupa tampaknya sudah dilupakan, sementara jika itu ditampil-pentaskan selalu generasi penerus Aceh menjadi ingat akan sejarah kehidupan manusia. Tidak hanya sejarah kehidupan manusia Aceh tetapi juga sejarah kehidupan manusia pada umumnya.
Dalam hikayat Aceh, Sidalupa berulang kali disebut sebagai gambaran tentang kemalangan nasib seseorang dalam kehidupan social masyarakat. Kemalangan yang disebabkan karena seseorang telah kalah total dalam persaingan dan atau pertarungan hidup. Sebagai misal Hikayat Nasruwan Ade disinggung sebagai berikut:”Meutan areuta hanle makmu/Hanle soe eu hansoe teuka/Saleh hansoe le kheun Teungku/Gob hoi badu Sidalupa (Artinya secara bebas: Bila harta sirna kemakmuran pergi/Sanak-famili kawan pun tak hendak jumpa/Gelar kehormatan tak pantas lagi/Orang gelari dia Sidalupa).
Sidalupa menjadi lambang absurditas manusia. Sebuah situasi yang dialami manusia dimana kemegahannya telah berlalu, harta benda juga sirna. Tembahan lagi, anak serta suami atau isteri pun sudah meninggal dunia; mungkin pula sudah minggat dari sisinya. Dalam saat ketidakberdayaannya demikian, sanak keluarga pun menjauh, sementara kawan setia hanya tinggal bayang-bayang; bila matahari membakar Sidalupa. Selama menunggu panggilan ke alam baka, kehidupannya penuh derita. Sidalupa tak masuk hitungan; tidak dipedulikan orang. Sidalupa adalah gambaran manusia malang
Mengenang dan menggambarkan kemalangan manusia itu, seniman Aceh pada zaman dulu menampilkannya dalam dan lewat tarian dengan design kostum bagai orang terkutuk. Dimana seluruh tubuh penuh bulu yang simbolkan lewat anyaman tali ijuk di seluruh tubuh. Dengan wajah yang tidak berbentuk rupa yang disimbolkan dengan topeng sesosok makluk yang sulit untuk disebut sebagai topeng manusia. Dengan tarian yang tidak menampilkan sebagai sebuah tarian, tetapi hanya melenggak-lenggok, bergoyang dan melompat-lompat kecil.
Inilah gambaran (atau paham) tentang manusia absurd yang oleh generasi tua Aceh yang cerdas dan kreatif mengemasnya dalam bentuk tarian yang bernama Sidalupa. Namun pada zaman sekarang nyaris tidak pernah dikembang-wariskan lagi. Tarian-tarian Aceh yang bernuansa kreasi baru, paduan hip-hop-dangdut dengan gerakan-gerakan dasar tarian ranup lampuan dan atau meusekat telah mengambil posisi sentral tarian massa remaja Aceh kini. Dalam artian tertentu bisa dimaklumi bahwa tradisi butuh kontekstualisasi dan pandai membaca tanda-tanda zaman, namun kita tidak mesti lupa bahwa pada setiap tradisi budaya dan sejarah yang terekam dalam benda-benda pusaka dan tarian-tarian tradisional terpendam kandungan moral dan ajaran tentang kehidupan. Sebagai misal Sidalupa, yang sementara ini perlahan dilupakan.
Referensi rujukan/pembanding: http://tambeh.wordpress.com/2010/10/08/hikayat-aceh-bagaikan-sidalupa/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H