Mohon tunggu...
Kris da Somerpes
Kris da Somerpes Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

pendiri dan pengampu media sastra online: www.floressastra.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembalikan Identitas Orang Asli Papua, Catatan dari Kisah Kelapa Berbuah Jerigen, Berair Sagero

8 Mei 2012   08:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya

Sudah banyak kisah yang terekam tentang Papua. Orang-orang, hutan, gunung dan sungai, adat budaya serta kebiasaan, konflik bersenjata, sampai pada harapan-harapan pun perjuangan menuju ‘Papua Tanah Damai’. Dari yang terekam, menyembul-simpul satu kata-kalimat bahwa tentang Papua yang terentang-bentang dari Sorong hingga Merauke itu sungguh ‘Kaya Raya’.

Dua ‘kekayaan’ yang paling menjulang adalah pertama, alamnya yang menghidupkan dan kedua adalah keberagaman identitas adat dan budaya yang antara satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Selebihnya adalah ‘kekayaan’ penyerta, dua misal di antaranya yang sudah kita kenal adalah banyak pesepak bola bermental ‘pantang kalah’ datang dari sana, dan yang lain adalah ‘epen kah, cupen toh’ dalam mop Papua yang jika didengar-simak bikin kita pica ketawa.

Namun Kemudian

Catatan kecil ini tidak bermaksud hendak mengumpas-tuntas tentang segala dan semua-nya Papua. Saya cukup diri memilih satu untuk dicatat lagi, yakni tentang ‘Pohon Kelapa Berbuah Jerigen’. Di bawah judul yang saya copy-paste dari film pendek produksi JPIC MSC Papua ini sebenarnya saya hendak: Pertama, mengisahkan kembali tentang identitas keberadaan orang-orang suku Gebze di tanah Malind Amin (Merauke), yang menjadikan ‘pohon kelapa’ sebagai symbol dan identitas keberadaannya.Kedua, mengisahkan kembali tentang mengapa dalam perjalanan waktu pohon kelapa akhirnya berbuah jerigen. Ketiga, mencoba menganalisa tentang jerigen sebagai symbol dan identitas yang asing (dalam tanda kutip modern). Keempat, Ketika sesuatu yang asing diterma sebagai ‘yang baik’. Kelima, kembali ke kelapa, kembali ke titi rasa, kembali ke jati diri. Well, lalu bagaimana?

Begini Yang Pertama, Pohon Kelapa Sebagai Identitas

Konon, kisah tokoh Adat Malind, Bapak Elyas Mayuend. Di tanah Malind Amin (Merauke) tinggal sebuah keluarga yang bernama keluarga Gebze. Di dekat tempat tinggal keluarga Gebze menetap tumbuh sebatang pohon yang sangat tinggi dan bentuknya aneh. Pohon tersebut adalah pohon kelapa.

Namun pada suatu ketika, pohon kelapa tersebut roboh ke tanah. Melihatnya roboh, keluarga Gebze mulai membagi-bagikan bagian perbagian dari pohon tersebut. Sebagian memilih batang, sebagian memilih daun, sebagian memilih buah, sebagian yang lain memilih akar. Singkatnya, tak ada yang tersisa dari pohon tersebut karena keluarga Gebze memilih dan membagikannya semua.

“Kalau menurut adat Malind, potong batang kelapa, walaupun untuk diminum airnya saja, itu ada sanksinya. Apalagi kalau mayangnya dipotong, atau buah kelapa dan tandangnya dipotong, itu tidak boleh. Tidak boleh potong-potong sembarang…siapa pun yang melanggarnya dibisa dibunuh”

Bapak Elyas Mayuend

Dari pohon kelapa itu, kemudian lahirlah family “Geb Wnangga’’ yang seterusnya menurunkan marga yang dibagi berdasarkan anatomi pohon kelapa. Kini, terdapat 12 family kelapa Gebze, diantaranya adalah Family Mauyend (batang), family Awabalik (pohon), family Walinawlik (tangkai), Family Dinawlik (tempurung), Family Biluklik (buah kelapa kecil), dan family Maliongglatlik (kelapa tak bertangkai).

Jujur saja, saya tidak terlalu tahu banyak seberapa dekat ikatan emosional-sosial-kultural antara keluarga-keluarga dalam cakupan family “Geb Wnangga” dengan pohon kelapa. Namun yang pasti bahwa ketika sesuatu, semisal pohon kelapa disebut-aku sebagai ‘symbol’ dan atau ‘identitas’ maka sesuatu tersebut sudah merupakan perpanjangan diri, eksistensi dan keberadaan manusia yang mengakuinya. Sesuatu yang tidak hanya menjelaskan tentang cara berada, tetapi lebih jauh dari itu adalah tentang keyakinan-keyakinan, pegangan hidup dan pun pula norma-norma yang tak tergadaikan.

Begini Yang Kedua, Pohon Kelapa Berbuah Jerigen, Ber-air Sagero

Namun dalam perjalanan waktu, seiring kian banyak pendatang yang datang (terminologi yang dipakai pemerintah Indonesia adalah transmigrasi) ke tanah Papua, entah itu datang (baik yang didatangkan maupun atas kehendak sendiri) dari tanah Jawa, dari pulau-pulau di Nusa Tenggara, Maluku maupun Kalimantan, pun bersamaan dengan itu, masuknya (baik yang dimasukkan maupun yang masuk sendiri) kebiasaan-kebiasaan baru, ‘nilai-nilai’ baru yang berintrik ‘modern’, secara perlahan pula di tanah Papua, semisal di suku Gebze terjadi asimilasi sosiologis dan cultural.

Saya menyebutnya sebagai perjumpaan yang berulang. Well, perjumpaan yang berulang dengan sesuatu yang dibawa para ‘amber’ (pendatang) itu turut mempengaruhi tidak hanya kebiasaan dan cara bertindak orang asli Papua, tetapi juga pola pikir dan pandangan hidup mereka yang diwaris-turunkan secara bergenerasi sebagai ‘tradisi sehat’ dicemas-khawatirkan kian rapuh dan luntur dimakan pengaruh.

Salah satu di antaranya adalah perihal tradisi minuman keras/beralkohol seperti sagero dan sopi. Sagero adalah minuman keras yang berasal nira pohon kelapa. Sopi adalah hasil penyulingan dari sagero. Kadar alcohol tergantung dari proses penyulingan, rata-rata berkadar alcohol di atas 50%.

“Bakal bunga dan buah pohon kelapa diiris, membiarkan nira-nya jatuh memenuhi jerigen aneka warna yang bergelantungan di puncak pohonnya. Dari puncak pohon ‘identitas diri’ keluarga Gebze itu, kesakralan hakikat keberadaan mereka menetes jatuh jadi titik-titik sagero yang sangar”

“Di budaya Malind, tidak ada tradisi minuman keras (seperti) alcohol yang di toko, sagero atau sejenisnya. Namun pada saat perang melawan Jepang, banyak suku dari luar Papua yang datang. Ada yang datang dari Maluku, ada yang dari Nusa Tenggara Barat. Dan dari Maluku yang memang mempunyai tradisi minuman sagero dan sopi. Mereka bawa tradisi itu ke Merauke” jelas Bapak Elyas Mayuend.

Kehadiran para pendatang di tanah Papua, semisal di tanah Malind secara perlahan membuat pohon kelapa kehilangan ‘kesakralannya’. Sebelumnya, aku penduduk tanah Malind, pohon kelapa hanya dapat difungsikan jika dibutuhkan untuk kehidupan. Daunnya digunakan untuk atap rumah, batangnya untuk tiang atau papan, akarnya untuk tali, lidinya untuk sapu lidi, buahnya untuk konsumsi makanan sehat.

Namun, “Sekarang banyak dari mereka (para pendatang dan) anak-anak keturunan yang sewa pohon kelapa per tahun. Alasannya untuk memproduksi gula merah. Namun mereka juga masak sopi. Tradisi itu akhirnya menular juga ke anak-anak muda Papua” jelas Bapak Elyas Mayuend.

Tradisi. Tradisi miris. Bakal bunga dan buah pohon kelapa diiris, membiarkan nira-nya jatuh memenuhi jerigen aneka warna yang bergelantungan di puncak pohonnya. Dari puncak pohon ‘identitas diri’ keluarga Gebze itu, kesakralan hakikat keberadaan mereka menetes jatuh jadi titik-titik sagero yang sangar (konflik). Miris memang.

Begini yang Ketiga, ‘Jerigen’ Sebagai Yang Asing dan Yang Lain

Benar juga kata Elias Caneti, novelis kelahiran Bulgaria yang pada 1981 memperoleh Penghargaan Nobel dalam Sastra "untuk tulisan-tulisan yang dicirikan oleh sudut pandang yang luas, gagasan yang kaya dan kekuatan artistik". Begini katanya: “Tak ada yang lebih menakutkan manusia daripada persentuhan dengan yang tak dikenal”.

Namun demikian, terhadap yang asing dan yang lain dan atau yang tak dikenal manusia, mau atau tidak mau harus suluk-jumpa sekalipun memang menakutkan. Tidak hanya yang misteri sebagai yang tak dikenal, tetapi juga terhadap masa depan dan perubahan yang turut serta di dalamnya adalah juga sesuatu yang tak dikenal.

Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi masa depannya. Sekali pun tentang masa depan diyakini diusahakan menjadi baik dan bermartabat. Karena, hemat saya, hidup dan kehidupan adalah proses melawan ketakutan-ketakutan.

“Tentu saja bukan ‘sekolah’ (pendidikan) yang salah. Tetapi, bagaimana pendidikan itu menjawab kebutuhan social dan cultural orang-orang asli Papua, secara khusus masyarakat suku Gebze yang mesti di-evaluasi”

Solusi termutkhir dan saya kira adalah juga solusi paling purba (yang masih tetap relevan) adalah penguatan yang berulang atas identitas diri. Tidak menakutkan di hadapan yang asing dan tidak dikenal jika kita menyadari sungguh “Siapakah aku ini”. Sehingga sekalipun perubahan-perubahan melingkupi diri, sekalipun kegelapan menakutkan menaungi, namun kemampuan untuk menjawab secara berulang “siapakah aku ini” memampukan kita sebagai manusia, entah pribadi maupun sebagai komunitas suku, untuk imun terhadap perubahan yang sakit dan tidak sehat.

Semakin selalu menjawab ‘siapakah aku ini’ di hadapan perubahan, hemat saya, secara social dan budaya merupakan bentuk imunoteraphi paling sehat. Tidak ada upaya awas yang paling manjur untuk mempertahankan identitas cultural, social yang kita miliki selain dengan menyaji-santap selalu tradisi sehat, modal budaya dan nilai-nilai moral yang kita miliki sebagai identitas. Sebagai yang ‘gue banget gitu loh’.

Dalam pada itu, untuk kasus keluarga Gebze di tanah Malind Amin, hemat saya, Jerigen bukan hanya merupakan sesuatu yang asing sebagai ‘benda’, tetapi juga merupakan sesuatu yang lain dan tak kenal sebagai ‘kebiasaan dan tradisi’. Namun demikian, lantaran perjumpaan yang berulang dengan keanekaan tawaran dan pengaruh di satu sisi dan di sisi yang lain terdapat ‘kerapuhan’ perisai identitas maka ‘kesakralan’ pohon kelapa itu luntur (dan bahkan nyaris hilang).

Sepenggal kalimat dari Bapak Elyas Mayuend berikut ini saya kira pantas untuk direfleksikan (kendatipun memang bisa diperdebatkan) “Sebenarnya kesalahannya ada di orang-orang tua kami sendiri. Sekarang anak-anak belajar ilmu sekolah. Sementara dulu kami, belajar adat”.

Tentu saja bukan ‘sekolah’ (pendidikan) yang salah. Tetapi, bagaimana pendidikan itu menjawab kebutuhan social dan cultural orang-orang asli Papua, secara khusus masyarakat suku Gebze yang mesti di-evaluasi.

Begini yang Keempat, Ketika ‘Jerigen’ Diterima Sebagai ‘Yang Baik’

Di Papua, kisah tentang ‘Jerigen’ sebagai yang asing, hanya salah satu contoh soal dari sekian banyak soal yang asing lain. Satu soal yang ‘paling asing’ yang menakutkan orang asli Papua adalah eksploitasi terhadap identitas kehidupan masyarakat asli Papua di tanah Papua. Kini, jika saya mendengar kisah dari para sahabat, membaca surat kabar, mendengar berita televisi dan membaca buku tentang Papua. Saya jadi merinding.

“Apakah karena begitu tidak berdayanya orang asli Papua maka varian kepentingan itu datang ‘seenak perut’ untuk merampas-menjajahnya?”

Orang-orang asli di tanah Papua, termasuk di dalamnya adalah masyarakat keluarga Gebze seperti sudah sedang dikepung varian ‘sesuatu yang asing’ dari delapan penjuru mata angin. Tidak hanya yang tampak seperti barisan tentara dan polisi keamanan yang bermain-main dengan pelatuk senjata, atau eksploitasi alam laut dan darat, penguasaan lahan pangan oleh pendatang, perampasan kepentingan dan hak hidup dalam dan melalui kekuatan ekonomi dan politik, tetapi juga yang paling senyap sekalipun adalah semisal dalam ‘kata’. Sederetan ‘kata’ miris mengepung Papua, saya mengangkat beberapa misal: Papua itu primitif, papua itu separatis, papua itu terbelakang, papua itu tidak modern, papua itu mabuk dan seterusnya.

Apakah karena begitu tidak berdayanya orang asli Papua maka varian kepentingan itu datang ‘seenak perut’ untuk merampas-menjajahnya? Anehnya, Nusantara sebagai bunda dan Papua yang seharusnya dipeluknya, seakan-akan menerimanya sebagai ‘yang baik’. Tidak apa-apa. Santai-santai saja. Seperti Jerigen di tanah Malind Amin yang akhirnya mengaburkan identitas diri keluarga Gebze, serupa itu pula varian kepentingan datang menghujam Papua, tidak hanya memporakporandakan harga diri orang-orang asli Papua, tetapi juga merangsek masuk mengebirinya. Miris.

Akhirnya, Memang Harus Kembali Ke Kelapa

Papua memang harus merdeka. Merdeka untuk mengatakan ‘Inilah aku’ tanpa ditakuti oleh siapa pun, termasuk Indonesia. Saya percaya seribu persen, bahwa Papua tidak akan berteriak ‘kami mau berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia’ jika diberi ruang untuk menjawab “siapakah aku ini?”.

Sebaliknya orang asli Papua akan merasa sangat berterima kasih kepada Indonesia, kepada para amber perusak, pendatang yang pongah, singkatnya kepada semua yang asing dan tak kenal jika dan hanya jika orang asli Papua diberi ruang dan waktu untuk menemu-bangun-kokohkan identitas dan jati diri mereka dari puing-puing kehancuran. Singkatnya membiarkan mereka untuk kembali menyatu dengan pohon kelapa-nya. Identitasnya.

“Bayangkan pula, batapa sakitnya orang asli Papua, yang secara perlahan-lahan disisihkan dan kian menjadi minoritas. Bagaimana jika itu terjadi di dalam ruang kehidupan anda?”

Bayangkan, betapa sakitnya jika varian kepentingan, sesuatu yang asing itu datang hanya untuk mematah-rubuhkan family “Geb Wnangga’’ yang seterusnya harus menjaga-menurunkan Family Mauyend (batang), family Awabalik (pohon), family Walinawlik (tangkai), Family Dinawlik (tempurung), Family Biluklik (buah kelapa kecil), dan family Maliongglatlik (kelapa tak bertangkai).

Bayangkan betapa sakitnya orang asli Papua jika melihat kelapa mereka berbuah jerigen. Padahal kelapa adalah jari-jari, tangan-tangan, tubuh dan bahkan hati mereka. Bayangkan, betapa sakitnya orang asli Papua, jika keindahan tanah mereka diperkosa, keindahan kehidupan mereka distigma primitive, perjuangan mereka untuk mempertahan-tegakkan identitas disebut sebagai separatis.

Bayangkan pula, batapa sakitnya orang asli Papua, yang secara perlahan-lahan disisihkan dan kian menjadi minoritas. Bagaimana jika itu terjadi di dalam ruang kehidupan anda? Terlalu sakit bukan. Itu sudah.

1 Sumber utama catatan pendek ini adalah 1) Tulisan wartawan Kompas, B Josie Susilo Hardiantodalam http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/03582132/alam.dan.identitas.masyarakat.malind dan 2) sebuah film pendek berjudul ‘Kelapa Berbuah Jerigen’ karya JPIC MSC yang disutradarai Leo Moyuend

Oktovianus Pogou, dalam ‘Lunturnya Budaya Papua di Era Globalisasi’ http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=en&id=411&type=9

Bdk. Juga catatan dari Yeremias Dagei ‘Minuman Keras, Keras Kepala di Tanah Papua’ dalam http://sosbud.kompasiana.com/2011/11/25/minuman-keras-keras-kepala-di-tanah-papua/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun