Hasnun adalah (mungkin) potret umum petani kecil Nusantara yang adalah sebagian besar empunya negara yang bertajuk agraris ini. Potret petani yang terjebak dalam pusaran sistem pertanian modern dan kepungan kejaran sistem pasar modern. Menyoal Hanun dan potret petani kecil Nusantara, saya lantas mengerucut ke beberapa point.
Pertama, mayoritas petani Nusantara termasuk Hasnun adalah mereka yang mewarisi sistem pertanian alamiah seperti apa yang telah dilakukan nenek moyangnya. Mereka bertani bukan pertama-tama untuk merebut pasar, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Namun, ini poin kedua, dalam kedip hari yang seperti berlari, perubahan zaman yang sepertinya tidak mereka sangka, akhirnya 'memaksa' para petani kecil untuk segera berubah dari yang 'biasa-biasa saja' alamiah ke sistem pertanian modern dan serba jadi.
Selanjutnya poin Ketiga, perubahan yang terlalu segera itu ternyata bukanlah kunci yang pas, karena penguatan sumber daya manusia petani kecil kita tidak turut dan ikut serta. Petani-petani kecil kita terjebak dalam 'kebingungan' yang akhirnya memaksa mereka dan tanpa sadar 'disandera secara paksa' ke sistem pertanian modern. Agar tidak 'mati kelaparan' dan kalah bersaing instantisme perlahan menggerogoti kebiasaan mereka. Apa yang sudah tersaji dan siap jadi semisal pupuk-pupuk kimia, bibit-bibit produksi industri, termasuk perlengkapan dan peralatan pertanian modern dibiasakan.
Keempat, kebiasaan dan pembiasaan itu membuat petani kecil kian manja. Di satu sisi ada anggapan bahwa semuanya menjadi mudah dan tidak merepotkan, tambahan pula di sisi lain 'sistem pertanian karbitan' itu ternyata menghasilkan dan memproduksi secara melimpah. Pertanyaannya adalah petani mana yang tidak senang. Kesenangan itulah yang selanjutnya ditangkap oleh 'toko' dan koorporasinya untuk selalu menyajikan segala sesuatu tentang pertanian agar selanjutnya dibeli, ditanam, setelah itu jadi.
Kelima, Hasnun dan sebagian besar petani kecil Nusantara tidak pernah berpikir bahwa mereka adalah korban. Kegampangan yang mereka rasakan dan hasil melimpah yang mereka terima sesungguhnya adalah jebakan dari penyeragaman sistem pertanian modern yang menyesatkan dan bahkan korban dari praktek monopoli 'toko' dan koorporasi yang menjerat.
Keenam secara fisik pengaruh langsung dan tidak langsung dari segala jenis pupuk dan pestisida kimia adalah gangguan kesehatan. Hasnun mengeluh bahwa sesak napas sudah lama menderanya, selanjutnya ia merasakan gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Radiasi zat-zat kimia sudah sedang mengenainya. Selanjutnya, apa yang dialami Hasnun menjadi parameter sejauh mana rusaknya tanah yang dikelolahnya. Bahwa tanah yang adalah sumber kehidupan, sekalipun tampak menghasilkan benih dan menumbuhkan kehidupan, secara perlahan pun sudah sedang digerogoti zat-zat kimia.
Ketujuh dan terakhir, gambaran kompleksitas persoalan Hasnun dan mayoritas petani kecil Nusantra adalah potret mata rantai 'saling membunuh' yang sudah sedang terjadi dalam senyap. Tanah dan para petani kecil adalah korban dan sebagai korban keduanya saling 'membunuh'. Selanjutnya 'toko' dan koorporasi-pasarnya serta sederetan para 'penonton' baik para pembuat kebijakan dalam negara maupun para penengah dalam masyarakat sipil dengan systemnya sudah sedang melakonkan tokoh yang ber-kura-kura dalam perahu.
***
Bayangkan, usia Hasnun belum benar-benar renta. Tubuhnya masih tampak bugar. Tetapi kulit tubuhnya perlahan terkelupas. Jari-jarinya tak henti menggugat dengan garuk. mencabik-cabik kulit punggung, tangan dan kakinya "gatal sekali" katanya suatu ketika. "Kadang-kadang saya sesak napas kalau tidur malam" lanjutnya. "Saya tidak tau kenapa bisa begini, tapi biasanya kalau setelah pulang kebun, saya rasa seperti itu" tutupnya sambil sesekali menggaruk punggungnya. Sampai kapan Hasnun tidak tahu tentang semuanya ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H