Mohon tunggu...
Kris da Somerpes
Kris da Somerpes Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

pendiri dan pengampu media sastra online: www.floressastra.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sembilu Bulan Sepuluh

11 November 2011   17:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:47 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Siang baru saja pergi. Senja yang jingga cuma sebentar. Malam pun datang bentangkan diri. Semua yang hidup bagai mati dilumat gulita, diterjang gelap. Sunyi sepi. Hanya itu. Tidak siapapun yang dapat mengubah malam jadi siang, selain dia harus takluk di bawah pijakan alam yang bernama malam.

Di bawah terang bulan yang nyaris padam, aku tersintak. Seorang perempuan tak bernama lahirkan janin dengan paksa. Hendak mataku menangkap jelas serupa apa raut wajahnya, tetapi gulita menghalangi jauh pandangku.

'Oh Tuhan, apa arti semuanya ini, hingga Engkau memberiku tanya yang sulit untuk kupecahkan sedikit jawaban. Mengapa aku, Kau beri mata untuk melihat kekejaman di awal malam ini. Sumpah atas nama-Mu Tuhan, aku tak sanggup tuntaskan kata. Manusia perempuan yang Kau jadi-ada-kan itu sungguh kejam'

Perempuan tak berupa itu lenyap di balik malam. Di ujung kakiku tergeletak anak kehidupan setengah matang. Janin manusia tak berjenis kelamin. Siapa bunda, siapa ayah, serupa itukah setiap buah hati yang dikebiri oleh birahi?

Sembilu bulan sepuluh. Terasa ngeri menyayat rasa. Tapi, apakah aku harus gundah? Tidak. Aku hanya panjatkan doa di tengah ketersintakkan. Selanjutnya memaknai serupa apa sang perempuan di tengah pusaran siang kota.

Bahwa sang perempuan yang memenggal denyut plasentanya dengan paksa adalah dia yang terjebak dalam pusaran siang yang berisik, terjebak dalam gemuruh kota yang pongah dan tersandera oleh birahi yang tidak punya hati.

Dalam kepungan ketidakmenentuan tentang nasib, sang perempuan mungkin memilih memenggal janinnya dengan belati yang keji. Perempuan yang bernyali serupa ini adalah perempuan pilu yang sepanjang hidupnya akan menjadi sembilu dalam kehidupan.

Jika ia cantik, bulan pun enggan tersenyum. Jika ia baik, bintang tak akan pernah ucapkan terima kasih. Jika ia jujur, matahari enggan mengangguk. Jika ia santun, siang tak akan pernah memberi tempat kepadanya untuk berelasi. Jika ia menangis, malam pun tak akan menemani kesendirian.

Perempuan yang meluputkan diri dalam gulita. Pada ketika awal malam gerimis hari itu. Yang menitipkan janin tak berjenis kelamin persis di bawah kakiku adalah dia yang tak pernah tahu bahwa hidup dan kehidupan adalah sembilu yang pada siang-siang dan malam-malam akan datang menyembelihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun