Ibu Paranginangin, warga jalan Condet Raya, Jakarta Timur sudah tahu kalau dia akan dikirimi paket yang berisikan sepasang sepatu. Sepasang sepatu buat anak kandungnya yang bernama Agus. Namun karena takut kalau-kalau paket yang diterimanya adalah bom, maka tim gagana pun dipanggil. Namun, setelah disposal (dhancurkan/ledakkan) ternyata benar, warga yang menyaksikan hanya mengelus dada melihat sobekan-sobekan sepatu itu berhamburan.
Paket ‘Bom Angin’ tidak hanya menimpa-panik Ibu Paranginangin dan warga Condet. Peristiwa serupa juga menimpa-panik sebagian warga Bantul Yogyakarta. Ketika itu, sebuah bungkusan mencurigakan ditemukan di teras sebuah rumah sekaligus bengkel di Jl Parangtritis Km 5,7, Sewon, Bantul, DIY. Namun setelah diurai oleh Tim Gegana Brimob Polda DIY, ditemukan isi bungkusan itu adalah kain lusuh dan sebuah magic jar rusak.
Tidak di Condet tidak di Bantul, di markas besar para wakil rakyat Senayan pun mengalami hal serupa. Salah satu Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan dan segenap penghuni Gedung Nusantara III DPR Lantai 4 dibikin panic. Sempat mencurigai kiriman paket dari orang yang tidak dikenal sebagai bom, namun setelah diteliti oleh tim gegana, ternyata isinya adalah buku.
Peristiwa Bom Buku yang menebar-teror tokoh dan warga Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya membuat kita tidak hanya cemas tetapi juga mulai beranjak ke tahap trauma. Segala sesuatu yang disebut paket, yang terbungkus rapi, dikirim-titip oleh orang yang tidak dikenal atau bahkan (sekalipun) dikirim oleh orang yang kita kenal dengan alamat dan isi paket yang sudah diketahui sebelumnya, akhirnya tidak lekas membuat kita percaya begitu saja.
Kita takut ‘kalau-kalau’ dan atau ‘jangan-jangan’ segala sesuatu yang serupa paket itu adalah bom. Seseorang yang membawa paket pizza misalnya mungkin saja dicurigai sebagai kurir teroris. Seseorang yang hendak berlibur dan kebetulan membawa paket oleh-oleh juga mungkin dicurigai sebagai kardus bom. Lebih bahaya lagi jika kantor Pos Indonesia tidak lagi didatangi lantaran akan berjumpa dengan banyak paket yang ‘jangan-jangan’ berisi bom. Alamak……
Namun yang pasti bahwa, pada tataran ini, dengan berkaca pada fakta-fakta di atas sudah membuktikan dengan amat jelas bahwa teroris dalam dan melalui taktik dan strategi terornya telah berhasil mengalahkan medan psikologis massa yang sebelumnya tenang, aman dan damai. Teroris telah mengunci medan psikolgis itu agar kita tidak hanya takut dan mudah curiga, tetapi juga tidak saling percaya, saling tuduh, dan bahkan marah.
Singkatnya, meminjam istilah Dr. Fanky Budi Hardiman bahwa teroris telah berhasil menciptakan iklim panic massa. Dalam tulisannya yang berjudul “Terorisme: Paradigma dan Definisi” (Imparsial,2005) Hardiman menjelaskan bahwa dalam dan melalui taktik dan strategi terror, sang teroris tidak hanya telah memplublikasi suatu alasan lewat aksi kekejaman, tetapi juga pada saat yang sama mengumumkan kepada publik perihal musuh dan kambing hitam, pun menghancurkan kepercayaan public terhadap aparat keamanan dan penegak hukum serta pemerintah.
Perihal mempublikasikan kekejaman sudah tampak jelas terlihat. Hal itu tampak melalui paket-paket Bom Buku. Perihal menciptakan panic massa apalagi. Kepanikan tidak hanya menggegerkan wong cilik di Condet dan Bantul, tetapi juga sampai mengguncang gedung Senayan, markas besar para wakil rakyat kita. Perihal tuduh-menuduh, curiga mencurigai pun salah menyalahkan sudah tampak. Lihat dan dengar komentar para pengamat berbicara dan pemerintah mengambil sikap atas peristiwa yang sudah sedang menimpa kita ini.
Pertama adalah tentang tuduh menuduh, curiga mencurigai: Sebagian pengamat mengatakan paket Bom Buku adalah aksi para teroris. Sebagian yang lain mengatakan ‘ini’ aksi intelijen. Sebagian yang lain mengatakan ‘ini’ adalah kerjaan kriminalis. Sebgain yang lain lagi mengatakan ‘ini’ adalah tindakan pribadi-pribadi yang anti demokratis. Tentang komentar dan amatan pengamatan pengamat sudah saya jelaskan panjang lebar dalam ‘Pelaku ‘Teror’ Bom Buku: Teroris, Intelijen atau Kriminalis?”.
Kedua adalah tentang salah menyalahkan dan ketidakpercayaan public pada aparat. Sebagai misal, saya mengutip dari Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Nadjib Hamid mengatakan, berbagai kerusuhan dan bom di Indonesia merupakan bentuk dari ketidak tegasan aparat keamanan dalam mengantisipasi potensi teror. "Teror itu isunya bisa apa saja, tapi kok saya melihat polisi lepas kontrol, setelah di Pandeglang lantas di Temanggung, kemudian di YAPI Pasuruan, lalu kini di Jakarta," kata Nadjib. Polisi, kata Nadjib, harusnya mengantisipasi sedini mungkin aksi teror. "Seolah kok mudah sekali kecolongan," kata dia.
Tidak hanya aparat dan pemerintah yang disalahkan, Media massa pun kena getahnya. Psikolog Massa Universitas Padjajaran Zainal Abidin misalnya dalam diskusi Polemik Trijaya, pada Sabtu (20/3/2011) mengatakan Media massa dinilai turut andil atas terjadinya teror akhir-akhir ini yang menimbulkan keresahan di masyarakat. "Media massa sebenarnya berperan dalam teror akhir-akhir ini. karena berita teror ini selalu ditampilkan, sehingga membuat masyarakat cemas," Menurutnya, pembuat teror adalah si pembuat pesan. Jadi oleh sebab itu, media bisa dikatakan sebagai pembawa teror. "Bicara teror adalah bicara si pembuat pesan yang membuat pesan teror," ungkapnya. Menurut dia, si pembuat teror saat ini sudah sukses membuat kepanikan pada masyarakat, bahkan hingga tingkatan ibu rumah tangga. "Pelakunya mungkin sekarang tertawa senang, karena misinya berhasil,” pungkasnya
Dan saya kira masih banyak lagi komentar dan pendapat yang tidak hanya bernada curiga dan menuduh tetapi juga mengambinghitamkan satu dengan yang lain. Namun, jika kita larut dalam situasi tersebut bukan tidak mungkin kepanikan akan menjadi akut dan menakutkan pun tidak mungkin juga akan melahirkan trauma panjang.
Lantaran itu, tidak hanya sikap awas dan hati-hati yang menjadi prioritas kampanye public sementara ini, tetapi juga pemerintah harus pula segera mengambil langkah-langkah dan atau kebijakan-kebijakan praktis yang memampukan kita semua sebagai warga bangsa nyaman dan aman. Dari antara sikap yang diambil, satu yang pasti bahwa pemerintah harus menunjukkan kehendak politis yang jelas dan tegas untuk menjaga rule of law dan konstitusi dalam melawan terorisme. Sebab bukan tidak mungkin ambivalensi dalam hal ini akan memperumit situasi. Agar tidak ada lagi ‘Jangan-jangan’ dan atau ‘kalau-kalau’…ada bom.
Sumber:
http://www.jpnn.com/read/2011/03/19/87167/Panik-Massal-Bom-Sibukkan-Gegana-
http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2011/03/16/brk,20110316-320599,id.html
http://news.okezone.com/read/2011/03/19/337/436579/media-massa-turut-andil-lakukan-teror
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H