Seorang sahabat dan juga kakak dari Papua, Dell Asikie, mempublikasikan 19 gambar dalam akun facebooknya yang memperlihatkan perihal kemiskinan di tanah Papua. Dalam album yang berjudul "Album Aku Papua" Dell Asikie menulis keterangan sebagai berikut:
"Menggapai harapan dalam mewujudkan impian tidaklah semudah membalik telapak tangan. Angan-angan itu seakan hilang ditelan bumi, pepohonan yang rimbun dan langit yang hampa itulah yang dapat kami pandangi, hari ini esok dan entah sampai kapan kamipun tak tahu. Namun kami yakin dan percaya bahwa TUHAN mempunyai rencana untuk kami. Melalui pemerintah pusat maupun daerah, mereka akan terus berupaya membuka isolasi serta membebaskan kami dari keterisoliran ini. Kami sadar bahwa kami juga sama dengan anda yang butuh akan sandang, pangan dll, serta sentuhan pembangunan yang adil dan merata itulah yang senantiasa kami rindukan"
Harapan penting yang disampaikan dalam catatan/keterangan di atas adalah 'membuka isolasi dan membebaskan (kami) dari keterisoliran ini". Jika hendak dijelaskan lebih lanjut keter-isolir-an ini tidak hanya melulu soal kemiskinan secara ekonomis, tetapi juga kemiskinan dalam berbagai sector kehidupan seperti masalah kesehatan, pendidikan, akses informasi dan komunikasi, problem social, budaya dan politik.
Dalam perspektif ini, saya pikir tentang harapan sebagaimana yang diharapkan Dell Asikie, adalah harapan dan juga permintaan segenap warga bangsa dari Sabang sampai Meroke, dari Miangas sampai Sabu Rote. Permintaan warga bangsa Indonesia agar bisa keluar dari kepungan kemiskinan untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri dan berdaya.
Namun, soal yang muncul adalah mengapa kemiskinan dan selanjutnya kebodohan senantiasa menjadi (sepertinya) satu-satunya keluhan warga bangsa ini? Pertanyaan lain pun muncul, apakah kebodohan yang menyebabkan kita miskin? Atau sebaliknya kita miskin maka kita bodoh? Pertanyaan kedua tidak mudah untuk dijawab, sebelum pertanyaan pertama dijawab terlebih dahulu. Dalam catatan kecil ini, saya cukup diri menjawab pertanyaan yang pertama, selanjutnya pertanyaan kedua dibiarkan menjadi topik diskusi di lain kesempatan.
Mengapa kemiskinan dan selanjutnya kebodohan senantiasa menjadi (sepertinya) satu-satunya keluhan warga bangsa ini?
Pertama-tama memang perlu dijelaskan bahwa kemiskinan dan juga kebodohan tidak hanya diderita oleh warga Negara Indonesia di belahan tengah dan timur, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Tetapi juga hampir merata menerjang sampai ke pelosok daerah di Indonesia Barat seperti Kalimantan dan Sumatera dalam berbagai aspek dan faktor kehidupan.
Sesungguhnya, kemiskinan dan kebodohan, jika mau jujur disebabkan karena multifaktor, selain karena secara social dan cultural kemiskinan telah menjadi serupa budaya dan tradisi yang sehat. Juga karena (ditambah) secara structural-politis bangsa ini sudah sedang mengidap komplikasi penyakit system politik dan kepentingan dengan dalil 'bangsa yang sedang belajar berdemokrasi'.
Secara social kutural saya tidak menjelaskan secara panjang lebar. Saya cukup mengangkat beberapa anekdot yang secara terang melazimkam kemiskinan dan kebodohan. Anekdot-anekdot tersebut sebagai missal: 'kepala desa sudah ada satu, camat sudah ada satu, bupati sudah ada satu, gubernur sudah ada satu dan juga presiden sudah ada satu, lalu untuk apa sekolah'. Anekdot yang lain misalnya 'Untuk apa sekolah atau belajar, lebih baik bantu orang tua di sawah dan panjat kelapa di kebun' dan seterusnya.
Salah satu sebab yang melahirkan the culture of poverty seperti yang tergambar dalam anekdot di atas, menurut saya adalah karena secara topografis dan geografis sebagian wilayah warga bangsa ini memang terisilor, kesklusif sehingga akses komunikasi dan informasi atas dan terhadap nilai-nilai baru yang berkembang di luar komunitas mereka tidak mereka ketahui. Lantaran itu, kebiasaan dan budaya, kendatipun dianggap timpang berkembang sebagai yang baik dan positip.
Hal kedua yang menurut saya menjadi sebab atau faktor penting yang melahirkan kemiskinan dan juga kebodohan sebagian wilayah dan komunitas di negeri ini adalah karena secara structural bangsa ini diterjang oleh system politik yang tidak berpihak, timpang dan koruptif. Pengentasan komunitas dan warga miskin, serta pemberantasan kebodohan hanya dijadikan sebagai jargon politik, materi kampenye pemilihan umum dan agenda yang hanya sekedar sebagai kata dan sebatas janji. Warga bangsa yang miskin dan bodoh justru dimiskinkan dan dibodohkan oleh system politik yang tidak sehat. Korupsi terjadi dimana-mana, sudah seperti sebagai suatu keharusan bagi setiap pejabat politik untuk melakukannya sebagai sebuah kewajiban.