Saya teringat waktu kecil tinggal di kampung, yang namanya makan daging ayam, adalah sesuatu banget, merupakan hal yang istimewa.
Kala itu di kampung jarang ditemukan warung makan yang menjual daging ayam, begitu pula di pasar belum ada yang menjajakan potongan daging ayam. Praktis kalau ingin makan daging ayam harus menyembelih terlebih dahulu.
Rata-rata keluarga di kampung beternak ayam, baik untuk pedaging atau diambil telurnya. Karena lahannya luas sehingga memungkinkan untuk itu. Beda dengan di kota yang lahannya terbatas.
Ayam dan telur itu dapat dijual ke pasaran atau dikonsumsi sendiri. Biasanya kalau ada hari istimewa atau kedatangan tamu agung baru menyembelih ayam.
Jadi bisa dikatakan makan daging ayam sangat jarang karena menunggu hari istimewa. Atau mengharap diundang tetangga yang melakukan kenduri atau hajatan.
Eksekusi Ayam
Dalam melakukan potong ayam, keluarga kami akan membagi tugas. Yang melakukan eksekusi adalah Ayah atau Kakak, saya sendiri tidak tega dan hanya membantu memegangi ayam.
Sedangkan Ibu bagian merebus ayam dan anak-anak mencabuti bulu-bulu sampai bersih. Dilanjutkan ibu yang memasak, jadi tugas Ibu yang paling banyak dalam proses pemotongan sampai siap di hidangkan. Favorit keluarga kami adalah olahan ayam goreng dan opor.
Ada yang unik dari ritual pemotongan ayam ini, masing-masing anak boleh memilih bagian ayam misalnya paha, dada, kepala, ampela dan sebagainya pada waktu proses memasak. Namun ada yang tidak boleh di pilih yaitu bagian pygostyle atau pantat ‘brutu’ ayam karena menjadi jatah Ayah.
Tradisi Jawa yang masih berupa mitos itu beralasan agar anak-anak tidak kecewa di kemudian hari, karena “brutu” posisinya di belakang. Padahal bagian ini walaupun terkesan menjijikkan, tetapi gurih karena banyak mengandung lemak.
Beternak Ayam