Mohon tunggu...
Kris Banarto
Kris Banarto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Bisnis dan Humaniora

Penulis buku: Transformasi HRD dalam Bisnis (2021). Ketika Kita Harus Memilih (2022). Rahasia Sukses Bisnis Modern (2022). Merajut Keabadian (2023). Kupas Tuntas Bisnis Properti (2024). Website: www.ManajemenTerkini.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

PLN Monopoli tetapi Merugi, Ada Apa?

28 Oktober 2020   07:33 Diperbarui: 18 Januari 2021   19:53 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang tambal ban di daerah Cikarang, Bekasi,  Jawa Barat mengeluhkan tagihan listrik. Biasanya tagihannya hanya Rp. 60.000,- tetapi pada Juni 2020 tiba-tiba menjadi Rp. 321.000,- per bulan.

Sedangkan selama pandemi tambal ban tutup lebih awal, seharusnya tagihannya lebih kecil. Dia sempat mengeluhkan tagihan itu, dan mendapatkan jawaban dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) bahwa memang ada kenaikan tarif sebesar 20%.

Itu adalah satu dari sekian banyak pelanggan PLN yang mengeluhkan kenaikan tagihan. PLN sendiri menerima pengaduan sebanyak 110.000 kasus. Hal ini menandakan buruknya kinerja PLN.

Hindun Mulaika seorang pegiat lingkungan mengatakan bahwa kenaikan tagihan bukan hanya karena peningkatan penggunaan listrik, tetapi ada kesalahan pencatatan. Sementara sebagai pelanggan hanya pasrah, karena PLN sebagai pemegang tunggal kelistrikan negara.

Uploaded by: IDX CHANNEL, Jun 16, 2020 
Uploaded by: IDX CHANNEL, Jun 16, 2020 

PLN Tersetrum Perjanjian

PLN sendiri mencatatkan kerugian sebesar Rp. 38 Triliun pada 4 bulan pertama tahun 2020. Salah satu penyebabnya adalah mata uang rupiah yang melemah terhadap dolar.

PLN membeli listrik dari para pemasok swasta dengan harga berdasarkan dolar, tetapi pelanggan membayarnya menggunakan rupiah.

Batubara diambil dari Sumatera dan Kalimantan, lalu PLN membelinya dari pengusaha di dalam negeri dan menjualnya dalam rupiah.

Saat ini pemakaian listrik nasional lebih sedikit dibandingkan pasokannya, alias over supply. Sebenarnya kelebihan pasokan tidak menjadi masalah karena dapat disimpan sebagai cadangan. Namun dengan kebijakan yang baru sekarang ini kelebihan pasokan menjadi masalah.

Karena dalam perjanjian antara PLN dengan pemasok, ada ketentuan minimum, di dalam kontrak disebut take or pay, artinya dipakai atau tidak PLN harus membayar jumlah tertentu kepada pihak pemasok.

Menurut PS Kuncoro, Serikat Pekerja PLN, mengoperasikan pembangkit saja sudah susah payah apalagi harus berinvestasi, karena di dalam laporan PLN ada kenaikan pembelian.

Dalam kondisi tersebut di atas maka PLN mendorong masyarakat untuk menggunakan listrik sebanyak-banyaknya, agar produksi yang berlebih dapat diserap. Hal ini bertentangan dengan kampanye pemerintah untuk melakukan penghematan energi.

PLN Merugi

Laporan keuangan PLN tahun 2019 membukukan pendapatan sebesar Rp. 285,6 Triliun, sementara pengeluaran sebesar Rp. 315,4 Triliun, artinya PLN merugi Rp. 29,8 Triliun.

Untuk menutup itu pemerintah mengucurkan dana dari APBN sebesar Rp. 73,9 Triliun. Dari jumlah tersebut dikeluarkan oleh PLN sebagai subsidi dan potongan tarif golongan tertentu sebesar Rp. 51,7 Triliun.

Sedangkan Rp. 22,2 Triliun untuk kompensasi sebagai akibat tidak naiknya tarif listrik dan pelaksanaan pembangunan listrik 35 ribu megawatt.

Dengan menjalankan bisnis yang sebagian merupakan penugasan dari negara ini, maka di penghujung tahun 2019 PLN mencatat mendapatkan Rp. 44,1 Triliun. Pendapatan yang sebenarnya diperoleh setelah pemerintah mengeluarkan APBN sebesar Rp. 73,9 Triliun.

Sampai di sini barangkali tidak ada masalah karena pemerintah memang mengatur tarif listrik, sehingga tarif yang ditentukan PLN tidak murni pertimbangan bisnis.

 Tetapi yang bisa dipertanyakan adalah besar kecilnya biaya operasional yang pada akhirnya akan mempengaruhi berapa yang harus ditutup oleh APBN.

Mengapa PLN Harus Membeli Batu Bara Lebih Mahal?

Menurut data sebanyak 61% pembangkit listrik di Indonesia bersumber bahan baku batu bara yang diberi dari perusahaan nasional. Meskipun membeli dari pengusaha Indonesia namun PLN harus membayar dengan mengacu mata uang dolar.

Maka PLN akan lebih besar membayar ketika rupiah melemah. Selain itu harga batu bara yang dibeli PLN lebih mahal dibandingkan harga yang dijual ekspor ke Tiongkok dan India. Apakah ada permainan? PLN membeli dari sumber dalam negeri sendiri dan di peruntukan rakyat Indonesia tetapi lebih mahal dibandingkan harga ekspor.

Selisihnya bisa mencapai Rp. 225 ribu untuk 1 ton batu bara. Padahal pemakaian batu bara pada 11 tahun terakhir mencapai 473 juta ton, sama dengan Rp. 100 Triliun, atau rata-rata per tahun selisihnya Rp. 9 Triliun. Melihat temuan seperti ini mana mungkin PLN bisa untung?

Jadi penyebab PLN Merugi adalah:

#1. Kurs transaksi batu bara menggunakan mata uang dolar, walaupun dari pemasok dalam negeri. hal ini menyebabkan ketika rupiah melemah, PLN harus membayar lebih tinggi, sementara PLN menjual ke masyarakat berdasarkan rupiah. Pertanyaannya Mengapa transaksi tidak berdasarkan kurs rupiah, sebagai bukti kecintaan pada mata uang dalam negeri?

#2. Ketersediaan berlebih (over supply) sebagai akibat perjanjian take or pay, dipakai atau tidak harus membayar sesuai batas minimal pemesanan. Mengapa perjanjian tidak diubah pemesanan sesuai pemakaian supaya tidak terjadi over supply?

#3. PLN membeli batu bara lebih mahal dari pada batu bara yang diekspor ke Tiongkok dan India, sungguh suatu ironi yang kita tidak mengetahui jawabannya, kira-kira ada apa dibalik perbedaan harga ini? 

Sungguh disayangkan salah satu perusahaan BUMN yang dipercayakan pemerintah untuk mengelola sumber daya alam dan dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak, telah disalahgunakan oleh para oknum pengusaha batu baru untuk mengeruk keuntungan pribadi. 

Lalu siapa sesungguhnya para pengusaha pemasok batu bara ke PLN?

Rujukan: Youtube channel "Kesetrum Listrik Negara" oleh Watchdoc Documentary

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun