Beberapa hari lalu salah seorang rekan kerja bercerita. Tetangganya curhat karena mendapat tagihan Paylater dari akun anaknya yang sedang kuliah di luar kota. Nominalnya sangat mengagetkan karena si ibu sudah mencukupi uang jajan bulanan cukup besar, 2 juta/bulan. Ternyata anaknya mengalami shock culture dan berakibat pada gaya belanja yang konsumtif.
Belanja impulsif telah menjadi fenomena yang kian marak, terutama di era digital. Aktivitas belanja yang sebelumnya memerlukan waktu dan usaha kini bisa dilakukan hanya dengan beberapa sentuhan di layar smartphone. Kemudahan ini membuat siapa saja, terutama remaja dan dewasa muda, lebih rentan terhadap dorongan belanja impulsif. Beragam promo menarik, potongan harga, dan tampilan produk yang menggoda di media sosial memicu keinginan untuk membeli, sering kali tanpa perencanaan atau kebutuhan yang jelas.
Selain kemudahan berbelanja, gaya hidup konsumtif yang kerap ditampilkan di media sosial juga berperan besar. Platform seperti Instagram dan TikTok secara tidak langsung menciptakan standar hidup yang diinginkan banyak orang. Ketika melihat teman, influencer, atau figur publik membeli sesuatu yang baru atau "kekinian," muncul dorongan untuk mengikuti tren, bahkan jika itu berarti mengorbankan anggaran pribadi.
Di sinilah istilah doom spending menjadi relevan. Fenomena ini mencerminkan dampak psikologis dari dorongan belanja impulsif yang kerap meninggalkan rasa penyesalan setelahnya. Bukan hanya sekadar gaya hidup, doom spending menjadi perhatian penting karena berpotensi merusak kondisi keuangan pribadi, terutama di kalangan muda yang masih membangun pondasi finansial mereka.
Apa Itu Doom Spending?
Doom spending adalah perilaku belanja berlebihan yang dilakukan sebagai cara melarikan diri dari perasaan negatif, seperti stres, kecemasan, atau kebosanan. Berbeda dengan belanja impulsif biasa yang lebih sering terjadi karena dorongan sesaat atau ketertarikan spontan pada sebuah produk, doom spending cenderung dipicu oleh keadaan emosional yang lebih mendalam. Belanja jenis ini menjadi bentuk pelarian sementara, memberikan ilusi kebahagiaan atau pemenuhan diri meski sifatnya sementara.
Dampak dari doom spending bisa sangat merugikan, baik secara psikologis maupun finansial. Banyak yang merasakan kecemasan dan penyesalan setelah belanja berlebihan, apalagi jika pembelian tersebut melampaui kemampuan finansial. Perasaan kehilangan kontrol atas keuangan sering kali muncul setelahnya, yang justru memperburuk stres dan menciptakan lingkaran negatif: semakin cemas, semakin besar dorongan untuk berbelanja guna mengatasinya.
Beberapa faktor yang memicu doom spending adalah:
- FOMO (Fear of Missing Out). Ketakutan akan ketinggalan tren atau hal menarik yang sedang ramai sering mendorong seseorang untuk ikut membeli meski sebenarnya tidak dibutuhkan.
- Perasaan hampa atau tidak puas. Ketika seseorang merasa kekosongan emosional atau kurangnya kepuasan dalam hidup, berbelanja sering dijadikan pelarian untuk menutupi perasaan tersebut.
- Kebosanan. Di era digital, kebosanan dapat dengan mudah memicu belanja impulsif karena akses ke berbagai produk online yang sangat mudah.
- Pengaruh konten promosi di media sosial. Media sosial yang penuh dengan iklan dan konten promosi sering kali mendorong orang untuk belanja secara berlebihan. Influencer, iklan yang dipersonalisasi, dan diskon instan membuat kita merasa perlu memiliki produk-produk tersebut tanpa banyak berpikir.
Doom spending adalah fenomena yang semakin menonjol di era modern, mengingat tekanan sosial dan pengaruh media sosial yang terus meningkat. Tanpa disadari, doom spending bisa menjadi kebiasaan yang tidak sehat jika tidak segera dikendalikan.
Baca juga: Menghadapi Fenomena Doom Spending: Peran Literasi Keuangan Sejak Dini di Dunia yang Penuh FOMOÂ
Mengenal Metode 3 Days Rule sebagai Solusi
Metode 3 Days Rule adalah teknik sederhana yang dapat membantu mengurangi kebiasaan belanja impulsif, termasuk doom spending. Prinsip utamanya adalah memberi jeda tiga hari sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu, terutama untuk barang-barang yang tidak benar-benar mendesak. Saat merasa ingin membeli sesuatu, kita dianjurkan menundanya selama tiga hari. Jika setelah waktu itu keinginan membeli masih ada, dan kita merasa barang tersebut memang diperlukan atau akan memberikan manfaat jangka panjang, maka pembelian tersebut lebih layak untuk dipertimbangkan.