Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Guru - Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Atasan Anti Kritik, Benih Bullying Terselubung?

18 Oktober 2024   20:50 Diperbarui: 18 Oktober 2024   21:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: betterup.com

"Kritik mungkin tidak menyenangkan, tetapi itu perlu. Ini memenuhi fungsi yang sama dengan rasa sakit di tubuh manusia. Itu menarik perhatian pada keadaan yang tidak sehat. " -- Winston Churchill

Dalam dunia kerja yang dinamis dan penuh tantangan, kritik membangun adalah bahan bakar yang diperlukan untuk mendorong inovasi dan memperbaiki kinerja. Kritik yang disampaikan dengan baik tidak hanya memberikan peluang perbaikan, tetapi juga mendorong tim untuk berkembang, berinovasi, dan terus memperbaiki diri. Lingkungan kerja yang sehat selalu mengutamakan komunikasi terbuka, di mana masukan dari berbagai pihak dihargai dan ditanggapi dengan sikap positif.

Namun, tidak semua pemimpin mampu atau mau menerima kritik. Ketika atasan menunjukkan sikap anti kritik, budaya kerja yang tidak sehat mulai terbentuk. Mereka yang berusaha memberikan masukan konstruktif seringkali dibungkam, dan lebih buruk lagi, ini dapat menjadi benih yang menumbuhkan bullying secara terselubung di tempat kerja.

Fenomena ini sangat relevan dalam dunia kerja modern, di mana kolaborasi dan keterbukaan seharusnya menjadi pondasi utama dalam membangun tim yang solid. Sayangnya, atasan yang menutup diri terhadap kritik justru menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan stagnasi, yang tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga perusahaan secara keseluruhan.

Atasan Anti Kritik

Atasan anti kritik adalah tipe pemimpin yang kesulitan menerima masukan, terutama yang bertujuan untuk memperbaiki atau mengembangkan kinerja. Salah satu ciri utama dari atasan semacam ini adalah sikap defensif ketika dihadapkan pada kritik, bahkan jika kritik tersebut disampaikan dengan cara yang konstruktif. Mereka cenderung menolak masukan, sering kali dengan berbagai alasan, seperti menganggap diri mereka sudah benar atau tidak ingin terlihat lemah di mata tim. Dalam situasi ini, setiap perbedaan pendapat sering kali dilihat sebagai ancaman, bukan peluang untuk meningkatkan kualitas kerja atau mencari solusi yang lebih baik.

Penting untuk memahami perbedaan antara kritik konstruktif dan serangan pribadi, karena atasan anti kritik sering kali gagal membedakan keduanya. Kritik konstruktif bertujuan untuk memberikan umpan balik yang jelas dan spesifik dengan niat memperbaiki atau meningkatkan hasil. Ini biasanya disampaikan dengan cara yang profesional dan penuh hormat, berfokus pada tindakan atau strategi yang bisa ditingkatkan. Di sisi lain, serangan pribadi lebih bersifat emosional dan merusak, mengkritik seseorang bukan pada kinerjanya, tetapi pada sifat pribadi atau karakter yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Atasan yang anti kritik sering kali merasa terancam oleh kritik konstruktif, menganggapnya sebagai bentuk serangan pribadi atau meremehkan otoritas mereka. Akibatnya, mereka cenderung bereaksi berlebihan atau malah membungkam kritik tersebut, alih-alih menggunakan kesempatan itu untuk tumbuh dan belajar dari perspektif yang berbeda.

Dampak pada Karyawan

Lingkungan kerja yang dipimpin oleh atasan anti kritik sering kali menjadi tidak aman secara psikologis bagi karyawan. Ketika masukan atau ide-ide baru selalu ditolak atau diabaikan, karyawan merasa takut untuk berbicara dan menyuarakan pendapat. Mereka khawatir bahwa kritik atau ide mereka justru akan menimbulkan masalah atau berdampak buruk pada posisi mereka di perusahaan. Ketakutan ini menciptakan kecemasan berkepanjangan yang menghambat kreativitas, inovasi, dan rasa percaya diri. Alih-alih termotivasi untuk memberikan kontribusi maksimal, karyawan memilih untuk diam dan bermain aman, menghindari risiko yang bisa memicu reaksi negatif dari atasan.

Dalam jangka panjang, lingkungan seperti ini berujung pada turunnya produktivitas. Karyawan yang merasa tidak didengar atau dihargai menjadi kurang termotivasi untuk bekerja dengan penuh semangat. Mereka kehilangan dorongan untuk memberikan performa terbaik karena tidak ada ruang untuk berkembang atau memperbaiki diri. Selain itu, stagnasi dalam hal ide dan inovasi membuat tim atau perusahaan secara keseluruhan sulit mencapai kemajuan yang berarti. Lingkungan yang tertekan membuat energi positif berkurang, dan lambat laun kinerja tim secara keseluruhan akan menurun.

Lebih jauh lagi, tekanan mental akibat bekerja di bawah atasan yang anti kritik sering kali memicu burnout dan turnover karyawan yang tinggi. Ketegangan emosional, kecemasan, dan frustrasi yang terus menerus tanpa adanya outlet untuk komunikasi terbuka membuat karyawan cepat merasa lelah secara mental. Burnout ini membuat mereka kehilangan minat dan motivasi untuk terus bekerja. Ketika rasa lelah tersebut tidak ditangani dengan baik, banyak karyawan akhirnya memilih untuk keluar dari perusahaan, mencari lingkungan kerja yang lebih sehat dan mendukung. Tingginya tingkat turnover ini pun berdampak pada biaya besar bagi perusahaan, baik dari segi rekrutmen maupun kehilangan talenta berbakat.

Benih Bullying yang Terselubung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun