Kemampuan literasi dan numerasi sejatinya sudah ada pada diri setiap anak. Kemampuan tersebut secara alami akan berkembang sesuai perkembangan otak dan usia anak. Perkembangan literasi dan numerasi akan berjalan dengan baik jika diberi pemantik dan secara konsisten dilakukan oleh orangtua, guru, dan lingkungan sekitarnya melalui kegiatan-kegiatan sederhana yang kontekstual.Â
Dalam dunia pendidikan, literasi pada pembelajaran bukan hanya milik pelajaran Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris saja. Sejatinya literasi itu merupakan keterampilan memahami dan mengolah informasi untuk membantu seseorang mengambil sikap atau keputusan atas informasi tersebut. Informasi yang dipahami dari konsep literasi pun cukup beragam bukan hanya tulisan tetapi bisa juga dalam bentuk gambar, simbol, video, bahkan suara. Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki 'modal' untuk berliterasi sejak usia dini. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar pernyataan "Tradisi bertutur sebagai pemantik budaya baca masyarakat Indonesia". Pernyataan tersebut cukup bisa diterima karena masyarakat Indonesia dikenal memiliki kekayaan budaya lokal dalam dunia literasi berupa tradisi bertutur, berpantun ketika acara hajatan, bersenandung saat menidurkan bayi, bercerita menjelang tidur, berkisah untuk memberikan nasihat. Kelisanan dan literasi sesungguhnya saling terkait dan berkelindan. Karena itu adanya anggapan bahwa tradisi lisan menghambat tumbuh kembangnya budaya baca (apalagi dalam artian luas) adalah tidak tepat.Â
Tradisi bertutur sejatinya bisa dimanfaatkan sebagai pemantik budaya baca masyarakat. Kesiapan seorang anak untuk memiliki keterampilan membaca secara kognitif akan terbantu saat si anak sudah memiliki banyak kosa kata yang didapatkan dari lingkungan sekitar. Keragaman kata yang sudah mampu diucapkan secara lisan dengan tepat akan memperkaya proses perkembangan literasi anak. Keingintahuan akan hal baru yang secara naluriah dimiliki setiap anak akan berkembang seiring perkembangan otak dan usia. Buku sebagai salah satu sumber informasi akan menjadi tempat bagi anak mendapat informasi. Â
Literasi berdasarkan perkembangannya terdiri dari 4 tahap yaitu: menyimak, berbicara, menulis, dan membaca.
Pada usia 0-6 tahun perkembangan bahasa lisan lebih diutamakan untuk dilatih. Bentuk kegiatan sederhana yang bisa dilakukan yaitu mengenali bunyi, dibacakan cerita, merespon pembicaraan atau dialog sederhana dengan kata yang terucap atau sikap tubuh misal mengangguk, tersenyum, dan lainnya. Â
Memasuki usia 6-12 tahun, perkembangan literasi sudah mulai pada tahap berkomunikasi aktif baik secara lisan atau melalui teks. Anak sudah mulai secara bertahap mengenali bacaan dan dipersiapkan menjadi pembelajar mandiri melalui beragam bacaan sesuai perkembangannya.
Menginjak usia 12 tahun keatas, anak sudah mulai menggunakan keterampilan berbahasa untuk memahami dan mendapatkan informasi yang dibutuhkannya.
Di sekolah, kemampuan literasi bisa dikembangkan melalui kegiatan yang menyenangkan, misalkan bermain tebak kata, tebak suara, menonton film pengetahuan dan menceritakan ulang, dan lain lain sesuai dengan tingkatan kompetensi yang sesuai pada jenjang pendidikan. Mereka sudah bisa menirukan suara, memilih mainannya dan juga berbicara. Perkembangan literasi akan berjalan secara alami sesuai perkembangan otak dan usianya. Namun begitu, peran orangtua, sekolah, dan lingkungan akan sangat membantu proses tersebut dengan lebih baik lagi.
Pada proses pembelajaran, untuk melatih kecakapan literasi siswa bisa melalui kegiatan yang sederhana, misal melalui sesi diskusi kelas dimana siswa akan menyampaikan pendapat atau bertanya. Untuk pemberian tugas terstruktur, guru bisa memberi siswa pertanyaan stimulus dalam bentuk gambar dan mereka akan merefleksikan secara tertulis makna gambar tersebut terkait dengan materi yang sedang dipelajari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H