Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Guru - Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Etika Dalam Pengambilan Keputusan

19 Januari 2023   15:59 Diperbarui: 20 Januari 2023   10:32 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani" atau "Di depan memberi teladan, di tengah membangun motivasi, dan di belakang memberikan dukungan".  Tiga semboyan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dan dikenal dengan sebutan Patrap Triloka tersebut sangat dalam maknanya terutama bagi seorang pemimpin. Pemimpin dituntut untuk memiliki jiwa teladan yang mampu membangun motivasi dan memberi dukungan dalam setiap keputusannya. Terkesan sederhana, namun tidak semudah melaksanakannya terutama dalam memberi teladan. Disaat nilai-nilai kebajikan sudah tertanam dalam diri setiap kita/pemimpin, maka itu menjadi modal besar dalam menyikapi suatu masalah dan pada akhirnya mampu memutuskan suatu keputusan dengan berpijak pada proses memanusiakan hubungan.

Proses coaching merupakan suatu langkah yang cukup tepat dalam proses pengambilan keputusan dengan melihat dari sudut pandang 2 sisi (orang lain dan kita) yang berbeda. Ketika kita mampu "mendengarkan" pendapat orang lain dan memahami sisi lain dari suatu masalah, maka pengambilan keputusan akan lebih minim konflik. Namun semua keputusan tadi pasti akan ada pro dan kontra yang pada hakikatnya akan memberi warna suatu organisasi. Hal tersebut wajar selama setiap pihak mampu menyikapinya dengan bijak.

Suatu masalah yang dihadapi guru, pemimpin, atau siapapun tidak jarang mengandung dilema etika yang memunculkan keraguan dalam memutuskan yang benar lawan kebenaran lain. Disinilah kebijakan itu akan sangat berperan dalam membantu kita memutuskan sesuatu. Bijaksana lebih mengandalkan intuisi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan seseorang. 

Guru yang terasah aspek sosial emosionalnya akan lebih tenang dalam menghadapi suatu masalah dan memiliki intuisi yang tajam dalam mengelola data/informasi yang didapatkan ketika menghadapi dilema etika suatu masalah. Dia tidak akan reaktif terhadap suatu masalah. Akan ada proses telaah untuk merespon dengan bijak dalam memutuskan suatu masalah, berpijak pada kepentingan yang lebih luas dengan tetap merujuk pada nilai-nilai kebajikan didalamnya.

Pengambilan keputusan yang tepat akan berdampak positif pada setiap orang/pihak yang terlibat didalamnya. Parameter suatu keputusan yang tepat akan terlihat pada terciptanya lingkungan yang positif, kodusif, aman dan nyaman tanpa gejolak yang berarti yang menyertai keputusan tersebut.

Berbagi pengalaman terkait tantangan yang pernah saya hadapi dalam pengambilan keputusan adalah kondisi lingkungan yang semi terisolasi dimana kami tinggal dan bekerja di lingkungan yang sama (kompleks perusahaan) akan muncul rasa tidak enak jika memutuskan suatu hal yang akan menyakiti perasaan kolega kita atau murid. Rasa tidak nyaman ketika memutuskan untuk tidak menaikkan murid merupakan salah satu contoh kasus yang pernah terjadi. 

Kita mengetahui kondisi keluarga, keuangan, serta psikologis murid dan orangtua tentu akan menjadi suatu dilema tersendiri dalam memutuskan suatu kebijakan. Kami hidup dalam lingkungan yang sama dengan orangtua murid bahkan interaksi sosial diluar pekerjaan juga bersinggungan dengan mereka. Hal tersebut sangat wajar terjadi tetapi tidak menjadi halangan utama dalam membuat keputusan.

Dilema juga terjadi ketika memutuskan memberi konsekuensi untuk murid yang melanggar. Proses segitiga restitusi merupakan cara yang sudah terbiasa kami lakukan di sekolah. Hal tersebut didukung dengan sistem sekolah yang memang sudah menerapkan konsekuensi dalam menangani permasalahan murid. Sistem tersebut melatih murid untuk mengembangkan kemampuan evaluasi diri dan pemecahan masalah. Proses coaching terjadi juga disini. Guru akan menggunakan keterampilan mendengarkan dan bertanya untuk mengarahkan murid menyadari kesalahan dan memperbaiki dengan kesadaran penuh atas dirinya.

Kemampuan seorang guru/pemimpin dalam mendengarkan, bertanya, mengelola emosi akan memudahkan pengambilan keputusan yang berdasar serta teruji dari 9 aspek langkah pengujian (akan diulas pada tulisan selanjutnya). Bahkan bukan hanya resolusi care-based thinking saja yang menjadi landasan, tetapi akan dibarengi dengan end-based thinking, dan role-based thinking yang harapannya akan tetap menjaga peran sekolah sebagai institusi moral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun