Mohon tunggu...
Gibos.id
Gibos.id Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pria melankolis yang suka berimajinasi terangi hari-harimu dengan wajah positifku. hai saya saldy, hobi menggambar, kelebihan mengkhayal, isi konten sesuai dengan opini terhadap realita.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relasi Kuasa dalam Cinta Asmara

26 Juli 2023   16:19 Diperbarui: 26 Juli 2023   17:24 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

Pengekspresian dalam hubungan kekasih menjadi hal yang unik dalam setiap zaman. Khususnya yang terjadi pada kaum muda di zaman sekarang. Ada yang sepasang kekasih mengekspresikan cintanya dengan melakukan aktivitas di luar seperti berkencan di tempat yang mewah atau cafe, travelling, bahkan menghabiskan waktu selalu bersama dengan pasangan di tempat tinggal seperti penginapan, apartemen maupun kost. Kadangkala, bentuk pengekspresian cinta sampai masuk ke ranah yang paling dalam (privasi). Seperti salah satu pasangan memberikan akun dan password medsosnya untuk menjaga kepercayaan antar satu sama lain, atau contoh lain seorang pria yang menunjukkan nilai maskulinitasnya dengan rela mengorbankan waktu dan dirinya (seperti, rela basah menembus hujan, mengesampingkan apa yang menjadi tugas primer, yakni kerja maupun kuliah) untuk bertemu dengan sang pujaan hati sebagai bentuk cintanya yang begitu besar.

            Tapi tahukah anda bahwa hal-hal seperti sadar maupun tidak disadari bahwa terjadi relasi kuasa dalam suatu hubungan. Lalu bagaimanakah hal tersebut dapat terjadi? Ada seorang tokoh yang kadang orang menyebutnya sebagai pemikir postmodern atau poststrukturalis tetapi, ia sendiri menolak disebut seperti itu dan menganggap bahwa pemikirannya merupakan khas dirinya. Michel Foucault, lahir pada tahun 1926 di Poitiers, Prancis. Ia sekolah di Ecole Normale Superieure (Ens), berminat mempelajari filsafat dan berada dibawah bimbingan Jean Hyppolite. Ia juga belajar teori dari Louis Althusser.

Foucault memiliki beberapa tulisan, yakni Madness and Insanity: History of Madness in the Classical Age (2001), The History of Sexuality (1980), The Care of the Self (1984), and The Use of Pleasure (1985). Salah satu perhatiannya tertuju pada "mikro-politik kekuasaan". Gagasan yang menjadi inti pada penelitiannya, yaitu arkeologi pengetahuan dan genealogi kekusaan. Kekuasaan menurut Focault bukan sesuatu yang sudah ada atau datang begitu saja. Kekuasaan merupakan relasi-relasi dalam waktu dan tempat. Jadi, kekuasaan ada dimana-mana. Kekuasaan terbentuk melalui sebuah wacana. Istilah wacana atau diskursus (discourse) bagi Foucault ialah merupakan sekumpulan teks atau tuturan yang mempunyai arti. Wacana adalah generalisasi konseptual percakapan dalam setiap modalitas dan konteks komunikasi. Wacana bukan sertamerta sekedar proposis makna, melainkan produktivitas kekuasaan di balik proses penyebarannya sedangkan, diskursus sendiri merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan, termasuk segala sesuatu yang telah ditulis, diungkapkan, maupun dikomunikasikan dengan aturan tertentu. Jadi, hubungan wacana dan kekuasaan itu erat ia tidak lagi hanya menindas, membatasi tetapi kekuasaan lebih bersifat produktif daripada represif dan negative. Contoh semisalnya seseorang pria yang menyukai Wanita yang ditemuinya dan muncul perasaan untuk mencintai sehingga ia melakukan pendekatan dengan bertemu, mulai berkomunikasi lewat medsos, kadangkala ia merayunya dengan kalimat-kalimat yang begitu romantic (puitis). Foucault mengatakan "language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular group while excluding other" Foucault menyadarkan dunia bahwa bahasa sebagai wacana tidak perah netral. Dalam hal inilah awal dari dominasi kekuasaan dimana wacana-wacana tersebut diproduksi. Seseorang menjadi memiliki kuasa karena, menggunakan wacana dominan untuk menundukkan lawannya.

            Kemudian, fenomena-fenomena percintaan yang terjadi seperti saat sepasang kekasih mulai menjalani hidup bersama dalam konteks berpacaran. Kadangkala dari pria ingin menunjukkan maskulinitasnya dalam hal seberapa besar bentuk cintanya terhadap sang pujaan hati dan si pria juga seringkali menunjukkan sikap-sikap patriarki tidak ingin dirinya dibatasi oleh si Wanita dalam artian ia bisa melakukan sesuatu seperti kebiasaanya yang nongkrong bersama teman-teman, merokok dan mengonsumsi minuman alcohol. Nah, fenomena ini terdapat sebuah inkonsistensi terhadap diri sendiri sekaligus dominasi kekuasaan dari sang kekasih (Wanita). Alih-alih sang pria hendak ingin mendominasi eksistensi si Wanita akan tetapi, malah sebaliknya ia yang terjebak dalam relasi kuasa dari Wanita. Kita dapat mengamati fenomena seperti ini menggunakan konsep Foucault yang disebut panopticon. Panopticon berasal dari pemikiran Jeremy Bentham, panopticon atau penjara bundar bagi Foucault merupakan sebuah mekanisme pengawasan istilah tersebut layaknya penjara berbentuk melingkar dengan menara penjaga di tengahnya yang memudahkan para penjaga untuk mengawasi para narapidana setiap saat, namun para narapidana tidak mengetahui bahwa mereka selalu diawasi. Kenyataanya, pihak yang melakukan pengamatan tidak perlu selalu hadir, dengan adanya struktur tersebut sudah mampu membatasi narapidana dan membuat narapidana selalu diawasi. Melihat dari sang pria yang keluar dari circle yang menjadi kebiasaannya kemungkinan ia merasa takut bahwa pasangannya juga akan pergi ke tempat yang tidak-tidak atau takut bahwa si Wanita mengkhawatirkan pasangannya yang terjebak atau ada cewek-cewek lain yang mendekatinya atau pergi ke tempat yang tidak-tidak  sehingga, setiap menit ia harus mengirimkan kabar lewat via whatssapp. Artinya mereka saling mengawas-diawasi. Mekanisme penundukkan, yakni pendisiplinan bekerja secara panopticon, pengawasan bisa berhenti tapi efek diawasi seolah berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain internalisasi nilai menjadi sesuai dengan omongan pacar.

            Kekuasaan tidak selalu berada pada sebuah otoritas, ia tidak melulu berada di atas tetapi ia ada dimana-mana. Manusia memiliki kehendak untuk berkuasa maka ia memproduksi beraneka wacana untuk mewujudkan relasi kuasa.

Dari fenomena-fenomena di atas seringkali kita terlalu sibuk dengan dunia percitaan dan melupakan apa yang ada di dalam diri kita seperti tujuan, tuntutan orang tua, teman yang selama ini membantu dalam perkembangan diri. Penundukan-penundukan yang terjadi dalam cinta asmara tersebut menciptakan ketakutan-ketakutan baru, kalua meminjam istilah dari Max Striner ialah hantu (spook). Untuk membebaskan diri dari hantu semacam itu diperlukan penetapan mengenai apa yang Stirner sebut yang unik sebagai otoritas tertinggi dan untuk mengembalikan lagi kekuatan kepada individu. Dibutuhkan perlawanan-perlawanan untuk menolak penundukan seutuhnya. Perlawanan yang dimaksud bukan dalam pengertian revolusioner akan tetapi perlawanan secara harus dengan cara saling percaya antar satu sama lain. Pemikiran-pemikiran yang menjadikan diri kita takut dan merelakan tubuh kita untuk didisiplinkan merupakan bagian dari dekadensi dan terjebak dalam alienasi. Hubungan yang baik adalah mereka yang menghormati waktu kesehariannya masing-masing dan saling mendukung di antara satu sama lain sehingga baik pekerjaan maupun tugas dalam perkuliahan apapun yang merupakan tujuan dalam pengembangan diri bagi masa depan tidak berantakan. Seseorang seharusnya tidak mengubah cinta menjadi hantu dan membuat dirinya tunduk kepadanya. Tergila-gila dan cinta yang semata hanya sensual sama-sama bermasalah: kegilaan didorong oleh suatu keharusan, dan cinta sensual didorong oleh ketergantungan terhadap apa yang dicintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun