Lev Vygotsky adalah seorang tokoh psikologi pendidikan, yang mengemukakan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, tetapi tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya, atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development (ZPD).
ZPD merupakan jarak antara apa yang bisa dilakukan siswa secara mandiri dan apa yang kemungkinan besar bisa mereka lakukan dengan bantuan MKO (more knowledgeable other). MKO itu bisa orang dewasa ataupun teman sebaya, yang membantu siswa untuk scaffold pembelajaran mereka. Scaffolding terjadi melalui dialog sehingga peran bahasa dan kemampuan berkomunikasi sangat penting. Scaffolding ini bukan sesuatu yang bersifat permanen, melainkan bisa diubah sesuai dengan kebutuhan.
Teori Vygotsky tentang ZPD masih relevan, bahkan sering dilaksanakan dalam proses pembelajaran, terlebih pembelajaran daring saat ini. Hal ini sangat saya rasakan, baik saya sebagai guru mata pelajaran maupun sebagai walikelas. Tidak semua anak yang saya ajar dan yang saya dampingi dalam satu kelas itu memiliki kemandirian dalam belajar, baik dalam memahami materi pembelajaran maupun mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
Saya akan menceritakan pengalaman saya, khususnya peran saya sebagai walikelas. Saya memiliki dua anak perwalian yang menuntut saya harus lebih ekstra dalam memberikan pendampingan belajar kepada mereka. Mereka masih dalam ZPD sehingga peran MKO, dalam hal ini guru dan orangtua masih diperlukan. Hal ini bukan dikarenakan mereka tidak memiliki kemampuan kognitif untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru, tetapi lebih kepada gangguan fokus belajar karena mereka harus belajar secara mandiri dari rumah. Jumlah kasus seperti ini lebih banyak terjadi dalam pembelajaran daring dibandingkan pembelajaran di sekolah sebelum pandemi. Pembelajaran daring sangat memengaruhi perilaku siswa dalam belajar, baik perilaku yang positif maupun perilaku yang negatif, seperti ketidakdisiplinan dalam mengerjakan tugas.
Scaffolding yang saya berikan kepada dua anak perwalian saya ini berbeda dan disesuaikan dengan kebutuhan belajar mereka, tetapi cara berinteraksi dengan mereka sama, yaitu melakukan online bersama untuk mendampingi mereka dalam mengerjakan tugas yang mereka lewatkan. Anak yang pertama saya menjadwalkan setiap Senin mulai pkl. 14.00 s.d. 15.30, sedangkan anak yang kedua setiap Jumat mulai pkl. 13.00 s.d. 14.30.
Anak yang pertama, scaffold yang diberikan lebih kompleks karena anak ini banyak melewatkan tugas dengan alasan bahwa tidak ada notifikasi dalam teams-nya atau tidak tahu kalau ada tugas yang belum dikerjakan sehingga harus dimulai dari yang paling dasar, yaitu menjelaskan fitur teams, yang dimulai dari posts, files, assignments, dan class notebook. Anak ini juga membutuhkan penjelasan yang lebih detail dari tugas yang akan dikerjakan sehingga selama 1,5 jam itu hanya menghasilkan satu tugas. Meskipun demikian, hal itu terbayar ketika dia mampu lulus dalam sumatif yang berkaitan dengan tugas yang diberikan.
Berbeda dengan anak yang pertama, anak yang kedua ini banyak melewatkan tugas dikarenakan dia tidak bisa berfokus pada tugas yang dikerjakan. Berdasarkan informasi dari orangtua dan pengakuan anak, hal itu bukan karena media sosial atau games, melainkan anak ini terkadang bingung dengan apa yang harus dikerjakan sehingga dia mencoba tugas yang lain dan dia menghadapi kesulitan yang sama, yang berakibat tidak ada tugas yang selesai. Melihat kondisi demikian, saya menawarkan memberikan bantuan untuk mendampinginya dalam mengerjakan tugas secara online. Puji Tuhan, dia mampu menyelesaikan dua tugas dalam 1,5 jam.
Suatu ketika, saya bertanya kepada kedua anak ini tentang masih perlukah pendampingan saya secara online untuk semua tugas yang diberikan oleh guru. Jawaban kedua anak ini sama, yaitu tidak perlu lagi secara online, tetapi hanya mengingatkan melalui chat, baik melalui teams atau whatsApp. Akan tetapi, selang satu minggu, saya mendapatkan chat dari guru pengajar bahwa kedua anak ini masih belum menyelesaikan tugas sampai puncaknya ketika penerimaan rapor midsemester. Akhirnya, saya sepakat dengan orangtua bahwa selama liburan midsemester, mereka harus menyelsaikan tugas kuarter 1 yang masih harus diselesaikan agar kuarter kedua bisa fokus pada tugas yang baru. Hal ini pun harus selalu saya cek, baik melalui orangtua maupun anak, bahkan komunikasi dengan guru pengajar yang bersangkutan. Â
Dari pengalaman ini, saya dapat menyimpulkan bahwa teori ZPD Lev Vygotsky, MKO masih diperlukan untuk beberapa anak yang memiliki permasalahan dalam kemandirian belajar. Scaffolding harus diberikan secara terus-menerus serta diperlukan kerja sama dan komunikasi yang baik antara guru, orangtua, dan anak sampai anak bisa mencapai ZPD kemandirian itu. Ini merupakan salah satu tugas dan panggilan sebagai guru yang harus selalu saya hidupi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H