Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengatasi Kekerasan di Sekolah

23 Oktober 2024   13:08 Diperbarui: 23 Oktober 2024   13:14 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengatasi Kekerasan di Sekolah: Belajar dari Kasus dan Kebijakan Global

Supriyani, S.Pd. Guru SDN  Baito, Konawe Selatan. Beliau telah ditahan Polisi setempat karena menegur siswa yang nakal. Orang Tua siswa tersebut adalah anggota Polisi.

Supriyani, S.Pd seorang guru honor yang sedang dalam masa pemberkasan P3K setelah honor bertahun-tahun di sekolah negeri.

Berawal siswa luka goresan di paha. Siswa melapor kepada orang tuanya bahwa ia dipukuli, faktanya gurunya hanya menegur tidak memukul. Tapi orang tua siswa tidak terima.

Kepala Sekolah datang ke rumah minta maaf. Permintaan maaf diterima. Tetapi diam-diam masalah ini diproses. Sampai akhirnya guru tersebut dapat panggilan di Polda
dan langsung ditahan dan suaminya disuruh pulang.  

Waktu datang ke rumah minta maaf , orang tua siswa minta 50 juta dan meminta kepada pihak sekolah agar guru tersebut dikeluarkan dari sekolah.

Kekerasan disekolah baik oleh guru, siswa, pemerasan baik dilakukan guru atau orangtua murid, masalah percabulan, perkosaan di lingkungan sekolah dan sekitarnya merupakan peristiwa berulang yang sesungguhnya cukup dikenal polanya dan bisa dicarikan solusinya.

Apa yang terjadi diatas adalah salah satu jenis masalah terkait dengan siswa, guru dan orang tua murid. Ada ratusan  kasus-kasus lain yang sebenarnya bisa dijadikan pelajaran dan acuan untuk  merumuskan dan membentuk pendekatan yang sistematis, terorganisir dan cepat tanggap. 

Tapi kasus-kasus ini berulang terus  tanpa adanya upaya yang berarti dari pemerintah dan pihak-pihak terkait secara cepat, hingga berlarut-larut dan beritanya kemana-mana sehingga muncul berbagai tekanan publik lewat berbagai media sosial. Barulah nanti yang merasa berwenang datang sepetti pahlawan kesiangan saat kemarahan publik semakin keras dan tak terkendali.

Kekerasan di sekolah di Indonesia telah menjadi masalah serius dalam dua dekade terakhir. Tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik antara siswa, tetapi juga mencakup pelecehan seksual oleh guru dan staf sekolah. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi siswa.

Menurut data dari berbagai media dan laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan di sekolah terus meningkat setiap tahunnya. Dari perundungan fisik hingga pelecehan seksual, tren ini menunjukkan kelemahan sistem pendidikan dalam melindungi anak-anak. 

Dengan semakin banyaknya kasus yang terungkap di media online, tekanan terhadap pemerintah untuk bertindak semakin besar. Namun, solusi apa yang efektif dan bagaimana kebijakan pemerintah seharusnya diimplementasikan?

Kekerasan di Sekolah: Fakta dan Dampaknya

Salah satu kasus paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung, di mana seorang kepala pesantren, Herry Wirawan, dihukum mati setelah terbukti memperkosa 21 santriwati. 

Kasus ini membuka mata masyarakat tentang besarnya skandal kekerasan seksual di lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola secara tertutup seperti pesantren. 

Herry bukan satu-satunya; di Jombang, Moch Subchi Azal Tsani, putra seorang kyai terkemuka, juga dinyatakan bersalah atas pelecehan seksual terhadap beberapa santriwati dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara.

Selain pesantren, kekerasan di sekolah-sekolah umum juga meningkat. Seorang siswa di Bekasi meninggal setelah menjadi korban bullying, dan kasus kekerasan fisik antara guru dan siswa juga dilaporkan dari berbagai daerah, seperti Trenggalek dan Lhokseumawe.  

Dampak dari kekerasan ini sangat luas: trauma psikologis, penurunan prestasi akademik, hingga risiko kematian.

Upaya Pemerintah: Masih Kurang Optimal

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), telah berusaha menangani kasus kekerasan ini dengan menerapkan program anti-kekerasan di sekolah. 

Namun, hasilnya belum optimal. Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa dari 127 kasus kekerasan yang ditangani antara 2019 dan 2022, mayoritas adalah kasus perundungan. Sayangnya, upaya ini sering kali hanya berfokus pada penanganan kasus setelah terjadi, bukan pada pencegahan.

Belajar dari Negara Lain: Kebijakan yang Efektif

Indonesia bisa belajar dari negara-negara lain yang telah berhasil menangani kekerasan di sekolah dengan lebih efektif. Jepang, misalnya, menerapkan pendekatan yang sangat proaktif dalam mencegah perundungan. Di Jepang, sekolah-sekolah secara rutin mengadakan program pendidikan karakter yang mendukung sikap empati dan keterampilan sosial. 

Para guru dilatih untuk mengenali tanda-tanda awal kekerasan atau pelecehan dan segera melakukan intervensi. Selain itu, Jepang memiliki kebijakan tegas yang melibatkan orang tua, sekolah, dan pihak berwenang dalam menangani setiap insiden.

Sementara itu, Swedia menjadi model bagi sistem perlindungan anak yang sangat kuat. Di Swedia, semua kekerasan fisik, baik oleh guru maupun oleh sesama siswa, dilarang keras, dan pelanggar akan menghadapi hukuman pidana. 

Sistem pelaporan yang transparan dan penanganan psikologis bagi korban kekerasan menjadi prioritas, menciptakan lingkungan yang lebih aman di sekolah.

Amerika Serikat juga menghadapi masalah serupa dengan Indonesia, terutama terkait kekerasan fisik dan bullying di sekolah. Di sana, pendekatan berbasis "zero tolerance" diterapkan, di mana segala bentuk kekerasan akan langsung dilaporkan kepada pihak berwenang dan pelaku akan menerima sanksi berat. Program seperti "No Bully" dan "Safe Schools" dirancang untuk menciptakan budaya sekolah yang positif dan mendukung.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah Indonesia?

Melihat bagaimana negara-negara lain berhasil menangani kekerasan di sekolah, ada beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah Indonesia untuk memperbaiki situasi:

1. Pencegahan dengan Pendidikan Karakter  

Program pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Mengajarkan nilai-nilai empati, toleransi, dan rasa hormat sejak dini dapat membantu mengurangi kecenderungan siswa untuk melakukan kekerasan. Guru juga perlu dilatih untuk mendeteksi tanda-tanda awal kekerasan dan melakukan intervensi.

2. Mekanisme Pelaporan yang Mudah dan Aman  

Seringkali, korban kekerasan di sekolah takut melaporkan kejadian karena khawatir akan pembalasan atau tidak dipercaya. Pemerintah harus menyediakan saluran pelaporan yang aman dan mudah diakses oleh siswa. Pelaporan anonim dan layanan bantuan psikologis gratis dapat membantu korban merasa lebih aman untuk berbicara.

3. Hukuman yang Tegas dan Transparan  

Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan seksual di sekolah mendapat hukuman yang terlalu ringan atau bahkan dilindungi oleh institusi. Pemerintah harus menerapkan kebijakan zero tolerance, di mana setiap kasus kekerasan seksual atau fisik ditangani dengan tegas dan transparan, tanpa pandang bulu.

4. Pelibatan Orang Tua dan Masyarakat 

Peran orang tua sangat penting dalam mencegah kekerasan di sekolah. Pemerintah harus memperkuat kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan komunitas untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman. Orang tua perlu dilibatkan dalam program-program sekolah dan diberi pemahaman tentang pentingnya mendukung anak-anak mereka secara emosional dan psikologis.

5. Penguatan Peran KPAI dan Lembaga Perlindungan Anak 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) harus diberi wewenang lebih besar untuk menindak setiap laporan kekerasan di sekolah, terutama di pesantren. Lembaga-lembaga ini perlu diperkuat, baik dari segi anggaran maupun jumlah personel, untuk bisa merespons kasus kekerasan dengan cepat dan tepat.

Kesimpulan

Kekerasan di sekolah merupakan masalah serius yang berulang, yang memerlukan perhatian segera dari semua pihak. Kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren menunjukkan betapa rentannya anak-anak terhadap penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan pendidikan.

Belajar dari negara lain seperti Jepang, Swedia, dan Amerika Serikat, Indonesia dapat menerapkan kebijakan yang lebih proaktif dan tegas untuk mencegah dan menangani kekerasan di sekolah.

Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki sistem pelaporan, meningkatkan pendidikan karakter, dan memastikan bahwa setiap kasus kekerasan di sekolah ditangani secara transparan dan tegas. Dengan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan pemerintah, kekerasan di sekolah dapat dicegah, dan anak-anak dapat belajar di lingkungan yang aman dan mendukung.(KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun