Menurut data dari berbagai media dan laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan di sekolah terus meningkat setiap tahunnya. Dari perundungan fisik hingga pelecehan seksual, tren ini menunjukkan kelemahan sistem pendidikan dalam melindungi anak-anak.Â
Dengan semakin banyaknya kasus yang terungkap di media online, tekanan terhadap pemerintah untuk bertindak semakin besar. Namun, solusi apa yang efektif dan bagaimana kebijakan pemerintah seharusnya diimplementasikan?
Kekerasan di Sekolah: Fakta dan Dampaknya
Salah satu kasus paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung, di mana seorang kepala pesantren, Herry Wirawan, dihukum mati setelah terbukti memperkosa 21 santriwati.Â
Kasus ini membuka mata masyarakat tentang besarnya skandal kekerasan seksual di lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola secara tertutup seperti pesantren.Â
Herry bukan satu-satunya; di Jombang, Moch Subchi Azal Tsani, putra seorang kyai terkemuka, juga dinyatakan bersalah atas pelecehan seksual terhadap beberapa santriwati dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara.
Selain pesantren, kekerasan di sekolah-sekolah umum juga meningkat. Seorang siswa di Bekasi meninggal setelah menjadi korban bullying, dan kasus kekerasan fisik antara guru dan siswa juga dilaporkan dari berbagai daerah, seperti Trenggalek dan Lhokseumawe. Â
Dampak dari kekerasan ini sangat luas: trauma psikologis, penurunan prestasi akademik, hingga risiko kematian.
Upaya Pemerintah: Masih Kurang Optimal
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), telah berusaha menangani kasus kekerasan ini dengan menerapkan program anti-kekerasan di sekolah.Â
Namun, hasilnya belum optimal. Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa dari 127 kasus kekerasan yang ditangani antara 2019 dan 2022, mayoritas adalah kasus perundungan. Sayangnya, upaya ini sering kali hanya berfokus pada penanganan kasus setelah terjadi, bukan pada pencegahan.