Teori-teori sosial dan politik mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan cenderung membuat seseorang merasa bahwa setiap tindakan mereka benar, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "hubris effect". "Lord Acton", seorang sejarawan Inggris, pernah berkata, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Dalam kekuasaan, kesalahan kecil dapat berkembang menjadi bencana besar jika tidak diakui atau ditangani dengan cepat. Para pemimpin yang tidak mau mengakui kesalahan mereka cenderung jatuh ke dalam siklus yang menghancurkan, di mana ego mereka menghalangi upaya perbaikan.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa beberapa pemimpin besar akhirnya menyadari kesalahan mereka dan secara terbuka menyatakan penyesalan. Penyesalan tersebut sering kali datang setelah peristiwa besar yang mengubah wajah sejarah. Kita dapat belajar dari banyaknya pemimpin dunia yang mengakui, bahkan terkadang terlambat, bahwa tindakan mereka menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka bayangkan.
Salah satu contoh paling terkenal adalah "Dwight D. Eisenhower" yang menyatakan penyesalan mendalam atas operasi pesawat mata-mata U-2. Pada awalnya, Eisenhower dengan tegas membela operasi tersebut, tetapi setelah pesawat U-2 ditembak jatuh di wilayah udara Soviet dan pilotnya ditangkap, situasi berubah menjadi sangat memalukan bagi Amerika Serikat. Eisenhower mengakui bahwa dia tidak akan menyetujui misi tersebut jika dia mengetahui bahwa hasilnya akan sangat memalukan.
Ini menunjukkan betapa mudahnya keputusan dalam krisis bisa menjadi bumerang, dan betapa sulitnya bagi seorang pemimpin untuk mengantisipasi setiap konsekuensi dari keputusan mereka. Dalam "teori keputusan politik", para pemimpin sering kali dipengaruhi oleh informasi yang tidak lengkap atau salah, yang dikenal sebagai "bounded rationality". Mereka membuat keputusan berdasarkan apa yang mereka ketahui saat itu, tetapi tidak jarang, informasi tersebut cacat atau tidak memadai.
Contoh lain datang dari "John F. Kennedy" dengan Invasi Teluk Babi. Di sini, keputusan yang salah tidak hanya merugikan secara politik tetapi juga militer. Kegagalan invasi Kuba yang didukung CIA ini menjadi salah satu noda besar dalam kepemimpinan Kennedy. Namun, alih-alih menyalahkan orang lain, Kennedy mengambil tanggung jawab penuh atas kesalahan tersebut. Dia mengatakan, "Kemenangan memiliki seratus ayah, tetapi kekalahan adalah anak yatim." Sebuah pengakuan yang menunjukkan bahwa meski keputusan diambil dengan niat baik, hasilnya bisa sangat berbeda.
"Tony Blair" juga memberikan salah satu contoh penting dari seorang pemimpin yang mengakui kesalahan besar dalam kebijakan luar negerinya. Blair terlibat dalam invasi Irak tahun 2003, sebuah keputusan yang didasarkan pada informasi intelijen yang keliru tentang adanya senjata pemusnah massal. Setelah bertahun-tahun mempertahankan keputusannya, Blair akhirnya meminta maaf pada 2015 dan mengakui bahwa intelijen yang digunakan untuk membenarkan invasi tersebut salah. Dalam permintaan maafnya, Blair tidak hanya menyalahkan kesalahan intelijen, tetapi juga mengakui bahwa perencanaan pasca-invasi sangat kurang, yang menyebabkan kekacauan di Irak selama bertahun-tahun.
Penyesalan Blair ini menggarisbawahi apa yang dalam "teori konflik" disebut sebagai "ramalan yang terpenuhi sendiri." Artinya, tindakan yang dilakukan untuk menghindari atau mencegah ancaman justru menciptakan kondisi yang memperburuk situasi. Invasi Irak, yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal, justru menciptakan kekacauan yang membuat kawasan tersebut semakin tidak stabil.
Sejarah juga mencatat "Barack Obama" yang menyatakan penyesalan atas kurangnya perencanaan pasca-intervensi NATO di Libya. Pada awalnya, intervensi tersebut dipandang sebagai keberhasilan karena berhasil menggulingkan diktator Libya, Muammar Gaddafi. Namun, kegagalan dalam merencanakan transisi menuju pemerintahan yang stabil menyebabkan Libya jatuh ke dalam perang saudara yang berkepanjangan. Obama kemudian mengakui bahwa intervensi di Libya adalah kesalahan besar, dan dia akan bertindak berbeda jika mengetahui dampaknya.
"Nelson Mandela", salah satu pemimpin paling dihormati di dunia, juga menunjukkan sisi manusiawi dari kepemimpinannya dengan menyatakan bahwa dia menyesal tidak berbuat lebih banyak untuk mengatasi ketidaksetaraan ekonomi setelah berakhirnya apartheid. Meskipun Mandela sukses menghapuskan sistem apartheid, dia merasa bahwa lebih banyak yang seharusnya dilakukan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara orang kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan. Ini adalah pengingat bahwa bahkan pemimpin yang paling bijaksana pun bisa menyesal atas tindakan atau kelalaian mereka di kemudian hari.
Dalam kasus "Angela Merkel", penyesalannya lebih bersifat teknis tetapi tidak kalah penting. Ketika pandemi COVID-19 melanda Jerman, Merkel memutuskan untuk memberlakukan lockdown selama Paskah, sebuah keputusan yang kemudian dia akui sebagai kesalahan besar. Penarikan kebijakan tersebut dan permintaan maaf Merkel menunjukkan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengakui kesalahan mereka secara terbuka dan mengambil tindakan untuk memperbaikinya.
Kita juga melihat "Shinzo Abe" dari Jepang yang meminta maaf atas tindakan Jepang selama Perang Dunia II. Permintaan maaf tersebut, yang disampaikan pada peringatan 70 tahun berakhirnya perang, menunjukkan betapa besar beban sejarah yang harus dipikul oleh para pemimpin dan bangsa mereka. Pengakuan kesalahan di masa lalu, meski menyakitkan, sering kali diperlukan untuk membangun hubungan internasional yang lebih baik dan menghindari konflik di masa depan.