TERCABIK-CABIK
Di sudut kafe, mataku terpaku, Â
Memandang wajahmu, nostalgia yang mengguncang kalbu. Â
Dulu kita terikat dalam cinta yang murni, Â
Namun waktu dan kebodohan merobek janji yang suci.
Luka itu masih membekas, meski telah lama berlalu, Â
Perpisahan kita, kisah yang takkan pernah bisa kulupakan. Â
Kini aku di sini, di antara tawa dan keceriaan, Â
Bersama istri yang setia, anak-anak yang menyenangkan.
Tiga hati kecil, menggenggam harapan dan masa depan, Â
Namun, di balik senyuman, hatiku berjuang dalam kegelapan. Â
Tatapanmu menghantui, bagaikan cahaya rembulan, Â
Menarikku kembali ke cinta yang hilang dalam kerinduan.
Satu detik, dan dunia terasa melambat, Â
Jarak di antara kita, seakan tak ada lagi batas. Â
Aku tahu, ini semua salah; kita sama-sama tahu, Â
Namun betapa sulitnya menahan rindu yang membara, tak tertahankan.
Seakan gravitasi, kau menarikku dalam pelukan, Â
Setiap detak jantung, aku merasa kedekatan yang dalam. Â
Tapi di sudut hatiku, tanggung jawab membelenggu, Â
Menjadi suami, ayah, dalam janji yang harus kupegang.
Rasa bersalah membakar, setiap saat yang berlalu, Â
Membayangi kebahagiaan yang kujalani setiap waktu. Â
Seharusnya aku bersyukur, dan melupakan semua ini, Â
Namun, bayangmu terus menghantui, menguji hati ini.
Kau di sana, terjebak dalam kesedihan yang sama, Â
Kita berdua melawan rasa, tak bisa lepas dari kenangan. Â
Dan meski aku tahu, aku tak bisa mendekat, Â
Satu tatapan itu, membawa kembali semua rasa yang terpendam.
Kini aku berdiri, terjepit antara cinta dan tanggung jawab, Â
Menghadapi kenyataan, sementara hati ini terus bergetar. Â
Menjalani kehidupan, dengan semua luka dan rasa, Â
Menyimpan kenangan, menanggung beban tanpa kata.
Selamanya akan kutanggung, rasa ini dalam hening, Â
Cinta yang terpendam, seakan takkan pernah hilang. Â
Untuk istri dan anak-anak, aku akan bertahan, Â
Meski di dalam hati, selamanya akan ada kerinduan yang tak terucapkan.