Semua sudah berkumpul ketika aku tiba dibandara, Bang Hendri, Bang Kamser, Mbak Titik, Yadi dan Ogen. Nama terakhir ini adalah peserta dadakan yang mengganti Fedy yang batal ikut karena cutinya ditolak. Setelah selesai cek ini, kami menyalami Ogen yang sudah pasti bergabung. Ogen pun kami sahkan namanya menjadi Fedy Alberto Ogenio ;))
Air Asia on time kali ini, sekitar 50 menit kami terbang menuju bumi Sriwijaya, dan disambut hujan deras dibandara Sultan Mahmud Badarudin.
Saat menunggu bagasi, Bang Hendri menghubungi Halida untuk menanyakan keberadaannya, ternyata dia masih diperjalanan dari Pekan Baru menuju Palembang. Dia memperkirakan akan tiba 2 jam kemudian dibandara. Sambil menunggu Halida kami makan siang sambil mengobrol disebuah rumah makan padang dibandara. Hujan masih terus mengguyur deras
Sekitar jam 14.00 kami pindah ketempat duduk yang lebar-lebar disebelah mushola bandara, cukup luas untuk tempat bobo-bobo ciang buat kami ber enam. Baru saja kami mulai mengambil posisi wuenak, bang Hendri baru saja cerita soal perbedaan pria berkepala botak didepan dengan botak dibagian belakang, tiba-tiba Halida menelepon Bang Hendri memberitahu bahwa dia sudah tiba dibandara. Terpaksa Kami meninggalkan posisi strategis tersebut dan menemui Halida yang datang diantar orang tuanya.
Perjalanan dilanjut menuju travel biro yang mobilnya sudah dipesan Halida untuk mengantar kami. Setibanya disana, pihak travel biro menyampaikan mobil yang berangkat ke Desa Pagar Alam hanya ada pagi dan sore jam 5, jadi kami masih harus menunggu mobil yang mengantar penumpang pagi kembali. Akhirnya kami harus…. Menunggu lagi L
Hujan masih turun deras, kami duduk-duduk didepan Travel biro ditemani orang tua Halida yang membelikan mpek-mpek yang menghangatkan suasana siang itu. Tidak berapa lama, berbagai sudut ruangan kantor kami isi, teras, kursi dipakai untuk berbaring, juga kursi didepan tv sambil menonton acara yang kebetulan menayangkan acara Jejak Petualang bersepeda di kaki gunung Tambora.
Waktu terasa lambat, tapi mobil yang kami tunggu akhirnya tiba. Segera barang-barang dimasukkan ke mobil dan kami melaju menuju desa Pagar Alam. Kapasitas mobil 8 orang hanya terisi oleh 7 orang, lumayan nyaman. Mobil melaju kencang, mengingatkan aku pada kecelakaan yang sering terjadi saat ini.
Sekitar jam 2 dini hari kami tiba didesa Pagar Alam. Kami menginap dirumah Pak Anton, tepatnya disebuah ruangan dibelakang rumahnya yang khusus disediakan untuk para pendaki. Kami tidur hingga jam 07.00 pagi. Lalu berkemas mempersiapkan pendakian. Karena jalur mendaki dan turun sama, kami bisa meninggalkan barang-barang yang kira-kira tidak diperlukan selama pendakian. Barang-barang tersebut kami bungkus menjadi satu, lalu dititipkan ke Ibu Anton.
Kami kesulitan mendapatkan mobil untuk mengantarkan ke pintu rimba yang berjarak sekitar 1, 5 jam naik mobil dari rumah Pak Anton. Seorang Bapak bersedia mengantar dengan mobil pick up, tapi emak, istri pak Anton mengatakan mobil Bapak itu tidak akan sanggup untuk menempuh tanjakan yang harus dilalui menuju Desa Empat. Si Bapak berusaha meyakinkan, dan Bang Hendri sebagai Bapak Ketua ;-) menerima tawaran si Bapak.
Tidak lama kemudian kami sudah melaju diatas pick up kecil itu, ransel-ransel ditaruh dibagian depan, sedangkan kami menduduki sisi-sisi mobil. Hamparan kebun teh terlihat disekeliling, memberikan kesejukan seperti udara pagi itu.
Mobil cukup kuat mendaki tanjakan, meski sempat juga memaksa sebagian kami untuk turun (cowok-cowok doang maksudnya hehehe…). Kami bertemu semacam pondok untuk pendaki, tapi Halida mengatakan pintu rimba yang kami tuju bukan itu. Mobil melanjutkan lagi perjananan mencari-cari pintu rimba. Halida menelepon beberapa temannya, berdasarkan petunjuk-petunjuk mereka, ditambah feelingnya Halida dan Bang Hendri :p kami mulai mendaki dari sebuah persimpangan yang ada goa bekas galian.
Kami menemukan jalan masuk ke hutan meski tak yakin sepenuhnya, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan. Jalan langsung menanjak kejam, tidak ada pemanasan dengan jalur landai diawal pendakian seperti gunung-gunung di pulau Jawa pada umumnya. Masih dijam pertama, aku dan Yadi nyasar kekiri punggungan. Kami turun punggungan lalu menyebrangi sungai menaiki punggungan lainnya. Jalur terjal sekali, karena yang didepan tak juga kelihatan (padahal kami yakin jarak kami cukup dekat) kamipun memanggil-manggil. Sahutan terdengar dari jauh, sepertinya dari punggungan disebelah. Sahutan Ogen memberitahu kalau kami salah jalan, akhirnya kami turun dan menyebrangi sungai kembali, batu-batunya yang sangat licin sempat membuat aku terjatuh… hikzz… Ogen memanggil-manggil sambil terus mengarahkan kearah mana kami harus berjalan. Tidak lama kami sudah berhadapan dengan Ogen yang senyum-senyum, menurutnya (mungkin) kami telah membuat kelucuan. huh!!
Perjalanan dilanjutkan, jalur pendakian sepertinya sudah lama tidak dilalui, terlihat dari kelebatan semak belukar dan tanah yang gembur, jika sering diinjak, tanah pasti padat. Jalur menanjak dan seringkali kami dikecup genit duri-duri hutan. Halida beberapa kali mengatakan dia tak kenal jalur yang kami lalui. Menjelang sore (aku lupa persisnya jam berapa) kami berhenti untuk masak makan siang. Sejak pagi kami belum sarapan benar, hanya 2 bungkus mi instant dibagi tujuh orang, pantaslah perut lapar akut. Aku sampai merasa mual sepanjang jalan.
Kami memasak sup krim instant, hanya tinggal dididihkan, sup siap disantap beramai-ramai. Perut seperti bertemu jodohnya, kamipun melanjutkan pendakian. Setelah sebelumnya beberapa kali nongol menakut-nakuti namun batal turun, Akhirnya hujan turun dengan deras
Menjelang magrib Ogen yang berjalan paling depan berteriak-teriak mengumumkan dengan loud speaker made in Japan, bahwa ia telah menemukan jalan pendakian yang sebenarnya. Benar saja, kami menemukan jalan yang jelas dan lebar. Kami istirahat sebentar dijalan tol itu, makan buah apel lalu berjalan lagi. Hujan masih mengguyur deras.
Malam sudah menyelimuti Dempo ketika kami bertemu Shelter 2. Hujan masih menetes, kamipun memutuskan membuat atap dari fly sheet dan beristirahat sambil masak makan malam. Fly sheet yang sempit itu membuat kami cukup berdesak-desakan. Semua berusaha menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan. Untuk kepraktisan, kami hanya memasak nasi dan air untuk membuat teh manis. Nasi kemudian kami makan dengan rendang yang sudah disediakan Ibu Halida dari Palembang. Sebagian kami sebenarnya memilih untuk menginap saja ditempat itu, tapi karena shelter tersebut digenangi air dan tanah yang lembek, dan puncak diperkirakan tidak jauh lagi, kamipun melanjutkan pendakian menuju puncak. Mungkin sudah jam 10 ketika kami meninggalkan Shelter dua.
Selanjutnya jalan sangat terjal. Kami bukan hanya mendaki tapi harus memanjat dengan berpegangan pada akar-akar. Sebagian besar jalur menanjak 90 derajat. Tubuh kami lumayan hangat dibanding ketika istirahat tadi. Tapi kami juga sudah mulai kelelahan, jam seperti saat itu itu harusnya tubuh sedang istirahat dengan nyaman. Sekitar jam 00.30 kami berhenti disebuah tempat yang lumayan datar, Bang Hendri dan Yadi berjalan kedepan untuk melihat apakah puncak masih jauh dan apakah didepan masih ada tempat datar untuk membuka tenda.
Setelah kembali, dengan beberapa pertimbangan, akhirnya kami membuka tenda disitu, udara dingin menusuk, angin bertiup kencang sekali. Ditengah udara yang beku kami berganti pakaian lalu masuk ketenda North Face kuning milik bang Hendri. Tenda dengan kapasitas 2 hingga 3 orang itu kami isi ber - 7. Saat duduk kami masih bingung bagaimana tenda itu akan menampung kami dalam posisi tidur. Akhirnya posisi diatur. Kami tidur dengan posisi kepala tidak diposisi yang sama. 3 orang disebelah utara dan 4 orang disebelah selatan. Kaki kami yang harus ditekuk dan kadang ditindihkan kekaki yang lain. Sempit sekali sebenarnya, tapi aku tetap tidur nyenyak malam itu. Istirahat ternikmat.
Esoknya ucapan Bang Hendrilah yang pertama kudengar ketika sadar dari tidur. “Sudah setengah tujuh lho” katanya. Dan kami harus bangun untuk bersiap jalan lagi. Kali ini kami meninggalkan barang-barang ditempat itu, tidak ada yang menjaga tapi tas-tas dibungkus dalam fly sheet lalu diikat kepohon yang berjarak 2 meter dari jalur. Jelas terlihat jika ada yang lewat, tapi kami percaya orang yang lewat pasti tidak akan mengambil tas-tas tersebut.
Hari yang cerah, langit bersih menemani langkah kaki kami menuju puncak. Sekitar 1 jam kami sudah sampai dipuncak Dempo. Berfoto-foto sebentar lalu turun ke alun-alun. Dari alun-alun ini terlihat puncak Merapi dengan jelas. Kami berhenti untuk istirahat dan masak sarapan diantara pohon-pohon pendek yang cukup rindang. Sambil menunggu nasi matang, kami duduk-duduk santai sambil mengobrol. Beberapa orang memilih menyepi memenuhi panggilan alam. Untuk kepraktisan, kami hanya memasak nasi, dan makan dengan lauk rendang dan teri goreng yang disiapkan oleh mbak Titik dari Jakarta.
Kemudian kami meninggalkan tempat itu, menuju kepuncak. Jalan kepuncak ditumbuhi pohon-pohon pendek yang merupakan ciri puncak-puncak gunung diketinggian menjelang 3000 mdpl.
30 menit kemudian kami sudah tiba dipuncak, langit cerah dan pemandangan terbuka tanpa penghalang. Terlihat kawah Dempo yang berwarna putih susu kehijauan
Seperti biasa, kami mengabadikan saat-saat dipuncak dengan harapan foto bisa dipajang ditempat-tempat strategis seperti tabloid-tabloid resep masakan atau iklan-iklkan diri diselebaran :p Berbagai macam gaya dikerahkan dengan meminta fotografer bergerak kesana kemari mengikuti gerakan model.
Kami bertemu dengan Kelompok pencinta alam kampus Unika Atmajaya; Edelweis, dan sempat mengobrol. Dari pembicaraan diketahui, salah satu gadis termanis dikelompok itu ternyata penggemar Bang Hendri. Terlihat dia terbata-bata saat mengetahui pria didepannya adalah Hendri Agustin yang tersohor kepelosok negeri itu
Setelelah puas menikmati pemandangan dan berfoto-foto, kamipun bergerak turun menuju tempat kami menaruh ransel-ransel. Tidak sampai satu jam kami sudah tiba, ransel-ransel aman tak ada yang mengganggu. Hal ini tak mungkin terjadi digunung-gunung ramai pengunjung seperti dipulau Jawa. Setelah repacking sebentar kami langsung turun. Karena sudah membuat janji dengan mobil carteran yang kami minta untuk menjemput kami dikebun teh, Bang Hendri dan Yadi dinobatkan untuk berjalan didepan meninggalkan kami berlima, dengan harapan dapat mengejar waktu janji kami dengan pemilik mobil.
Akhirnya kami berjalan ber-5. Aku berjalan didepan dengan Mbak Titik, satu persatu turunan curam kami lewati. Kadang kami heran melihat jalan yang demikian terjal dan hampir tak percaya kami melewatinya semalam, dalam gelap ditambah rasa lelah dan ngantuk. “Emang kita bisa ngelewatin ini yah kemaren?” kataku pada Mbak Titiek.
Sore menjelang ketika kami tiba dipos dua, kami berhenti untuk mengistirahatkan kaki yang telah bekerja keras. Tanah tempat kami meneduh dibawah fly sheet, berdesak-desakan dan kedinginan semalam telah kering. Kami melanjutkan perjalanan, kali ini aku dan Mbak Titiek berjalan jauh didepan yang lainnya, mereka tidak terlihat sama sekali. Kami tiba dipos Satu dan hanya beritirahat sekitar lima menit. Karena tidak ingin berjalan malam hari dihutan, kamipun melanjutkan. Pos satu sudah lewat, semoga pintu rimba tak terlalu jauh
Tragedi kumbang Nakal :p
Hari mulai gelap ketika aku melihat tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dipinggiran jalur menjanjikan kami akan segera tiba didesa. Kami sudah menyalakan head lamp ketika sebuah tragedi terjadi. Mbak Titiek yang berjalan sekitar 5 meter didepanku sedang membungkuk mengambil sesuatu dari kakinya, tiba-tiba ia menjerit-jerit entah mengucapkan apa, yang berhasil aku dengar adalah namaku. Aku mengarahkan senter dan sepertinya Mbak Titiek sedang meronta-ronta. Fikiran yang berkecamuk adalah dia dililit ular, tapi aku tak berhasil melihat apapun selain badannya yang memunggungiku. Bukan ular! Fikirku. Entah apa pertanyaanku waktu itu ke Mbak Titiek, tapi dia menjawab, ada serangga yang menyerang. Ya, Aku sempat melihat seekor kumbang terbang menjauh. Menurut ramalan dukun-dukun didunia permistisan, kumbang memang senang dengan cahaya, head lamp Mbak Titiek tampaknya menarik hatinya hingga terjadilah tragedi jeritan tadi. Setelah cukup tenang, kamipun kembali berjalan.
Sekitar jam 18.45 kami tiba dipintu rimba, tiba-tiba saja hutan berakhir dan yang terpampang didepan kami adalah kebun teh, lega sekali rasanya. Kami duduk disebuah batang pohon yang roboh. Dimana Bang Hendri dan Yadi? Tampaknya mereka sudah pergi kebawah, entah kejalan aspal atau kedesa terdekat (desa/kampung 4). Dingin menggigit karena tempat itu masih cukup tinggi, apalagi baju kami yang basah karena keringat. Bang Hendri mengabari lewat sms bahwa mereka sedang mencari mobil didesa dan menyarankan kami untuk turun.
Tragedi Kebun Teh
Segera kami berjalan turun menerobos kebun teh didepan kami tanpa memikirkan arah jalan yang benar, fikiran kami saat itu adalah, jalan raya tentunya didepan kebun teh ini. Ternyata fikiran kami keliru sama sekali. Mula-mula kami hanya jalan lurus mengikuti alur-alur yang terbentuk diantara phon-pohon teh, lalu kami menyadari kebun teh didepan kami seperti lautan tak terbatas. Meski head lamp kami arahkan kedepan untuk melihat disebelah mana jalan raya, yang terlihat hanya bentangan kebun dan kegelapan. Mula-mula aku melihat semacam garis hitam dikejauhan sebelah kanan, aku fikir itu adalah jalan raya, maka aku mengejak mbak titik kearah kanan. Setelah tiba, kami hanya mendapati perbatasan kebun teh yang tinggi dengan yang pendek, sehingga membentuk garis lengkung hitam.
Perjuangan dilanjutkan, kami memandang kesemua arah, tapi yang terlihat hanya kebun teh. Aku mengajak mbak Titiek terus kearah kiri karena melihat garis lagi dikejauhan. Mestinya itu jalan, fikirku. Tapi sepertinya Mbak Titiek tidak begitu memperhatikan kata-kataku. Dia berjalan kearah kanan dan menghilang. Aku menemukan ujung kebun yang curam, lalu tidak menemukan Mbak Titiek. Aku memanggil-manggil, tak ada sahutan, aku memanggil lagi, terdengar sahutan, wah…suaranya terdengar agak jauh. Segera aku berjalan kearah kanan menyusul Mbak Titiek. Aku mengajak mbak Titiek ke kiri.
“kok nggak kekiri mbak tadi kan kliatan kayaknya ada garis”
“o yah? Aku nggak lihat, dikiri tadi jurang”
“emang jurang, tapi kekiri lagi ada jalan kok, curam memang, tapi kayaknya bisa diturunin, balik lagi yuk”
Kami berjalan kekiri sambil aku menunjukkan ke Mbak Titiek garis yang kuduga jalan itu. Kami menuruni kebun bagian yang curam, tiba-tiba dari arah yang kuduga jalan itu muncul cahaya mobil, aku kegirangan. Horeeee…benar itu jalan raya. Masih kegirangan karena cahaya mobil tiba-tiba kami masih dikejutkan lagi oleh 2 cahaya head lamp yang muncuk didekat mobil. Huaaaa… mbak.. mbak… berarti itu bang Hendri dan Yadi. Berarti mereka sudah mendapatkan mobil carteran dan datang menyusul kami kesini.
Bang Hendri mengarahkan arah jalan kami, kami kebingungan karena sepertinya jalan didepan terjal sekali. Yadi kemudian menjemput kami dan membawakan carrierku. Ohhhhh…my heeeeerrrOOoooo ;;) :-* :-*
Hanya beberapa puluh meter berjalan dijalan tanah, kami sudah tiba disamping mobil yang sedang memutar lagu ajep-ajep.
Kami menunggu 3 orang lagi, Bang Kamser, Ogen dan Halida. Kecapekan, aku langsung saja duduk diatas tanah disamping mobil sambil memandang bayangan gunung dempo. Tidak lama kemudian terlihata cahaya-cahaya senter dari arah kebun teh, tampaknya mereka kebingungan juga. Yadi memberi panduan dengan head lamp yang dibuat berkedip-kedip, kemudian dia menjemput mereka.
Setelah mereka tiba dimobil, kami langsung menuju desa Pagar Alam. Jalanan tidak beraspal mengguncang-guncang tubuh kami. Diperjalanan kami singgah untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan dirumah Pak Anton. Entah berapa jam perjalanan menuju desa, karena aku tertidur, dan terbangun ketika sudah sampai di travel biro. Kami turun dan aku menyempatkan mengganti pakaian mendaki dengan pakaian bersih. Kami sempatkan mengisi perut diwarung mi tidak jauh dari kantor travel biro itu. Sekitar tengah malam akhirnya kami sudah berangkat melaju menuju Palembang.
Ac mobil yang dingin menemani istirahat kami diperjalanan. Mobil hanya sekali berhenti disebuah rumah makan tapi kami tidak berniat makan. Saat mobil akan berangkat salah satu dari kami menghayal terlalu lama saat memenuhi panggilan alam, hingga pengumuman beberapa kali dilakukan melalui mike, dan Yadi harus menyusul ke toilet :-p
Jam 04.30 kami tiba dirumah Halida di Palembang. Orang tuanya sudah menunggu dan meyediakan makanan dan minuman hangat. Bukannya istirahat, kami berniat melanjutkan acara dengan berburu foto jembatan sungai Musi. Masih terkantuk-kantuk kami naik lagi kemobil orang tua Halida, kali ini dipiloti oleh Bang Kamser dengan co-pilot Halida. Kami tiba dijembatan dan mengambil foto dari dekat, kemudian mencari tempat mengambil foto jembatan dari jauh. Kami berhenti beberapa kali dan memotret.
Setelah matahari terbit, berburu foto dihentikan, dilanjut dengan berburu sarapan, kami memilih makanan tradisional Palembang dipasar 16 Ilir. Pasar ini unik karena toko-tokonya yang berwarna-warni cerah. Diperjalanan kembali menuju rumah Halida, kami sempat berkeliling melihat-lihat rumah-rumah tradisional Palembang yang berbentuk rumah panggung. Rumah terbuat dari kayu dan semuanya terlihat sudah dimakan usia.
Dirumah Halida kami bergantian mandi, tidur dan makan. Sekitar jam 12 kami berangkat mencari oleh-oleh dan langsung membawa semua tas, karena akan langsung menuju Bandara. Diwarung pempek Vico di Jl DI Panjaitan, kami makan dan memesan oleh-oleh untuk dibawa ke Jakarta. Rekor pemboyong terbanyak dipegang Mbak Titiek dengan jinjingan terbesar, terbanyak dan terberat.
Masih terlalu cepat untuk cek in, tapi kami sudah berada dibandara. Halida dan Ayahnya pamitan pulang, kami menyalami dan mengucapkan termakasih kepada mereka. Rombongan tinggal 6 orang, sama seperti ketika berangkat, padahal dikhawatirkan Ogen akan menghadapi masalah karena pembajakan tiket yang dilakukannya. Sekitar jam 17.00 kami tiba dibandara Soekarno-Hatta, bergegas pulang, bersiap diri untuk nguli lagi, esok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H