Kretek.co – Sikap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan yang mengedepankan Kementerian Kesehatan dalam menentukan besaran cukai rokok, menuai kritikan. Sikap DJBC itu salah alamat. Soal cukai rokok seharusnya mereka bertanya ke industri rokok.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, soal cukai industri hasil tembakau (IHT) tidak bisa semata mengedepankan perspektif kesehatan. Justru seharusnya pandangan industri yang harus jadi acuan utama karena merupakan subjek pajak dan cukai yang akan ditarik pemerintah.
Yustinus menilai, saat ini kontribusi cukai IHT dari sebatang rokok sudah sangat besar. Dia menghitung, dari harga eceran sebatang rokok, meliputi 57 persen cukai, 10 persen PPN, dan 10 persen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, dari harga rokok itu, sudah sebesar hampir 70 persen disetorkan ke negara.
Soal cukai ini, kata Yustinus, pemerintah harus bijak. Kalau paradigma kesehatan yang dikendepankan pemerintah dengan mengerek cukai tinggi tinggi dan kemudian konsumsi menjadi terbatas, justru akan mengundang munculnya rokok illegal. “Ketika pengawasan buruk, justru akan memperbanyak rokok ilegal,” ujarnya kepada wartawan, Senin (13/6).
Menurunnya konsumsi juga bakal menggerus industri rokok. Dalam kaitan ini, Yustinus mempertanyakan, apakah pemerintah sudah menyiapkan konversi tenaga kerja. Saat ini, ada sekitar 6 juta pekerja yang terlibat langsung dengan IHT. “Soal tenaga kerja ini bisa menjadi masalah besar,” imbuhnya.
Demikian juga dengan penggunaan dana PDRD yang besarnya mencapai 10 persen dari cukai rokok yang dibayarkan industri. Jadi kalau pada tahun lalu, industri rokok berhasil setor cukai sebesar Rp 139 triliun, mereka juga harus setor PDRD sebesar Rp 13,9 triliun.
Yustinus mengamati, penggunaan dana PDRD untuk alokasi kesehatan juga tidak jelas dan kurang akuntabel. “Apakah selama ini penerimaan sudah dialokasikan dengan baik dan akuntabel?” tanya dia.
Menurut dia, roadmap pemerintah di sektor kesehatan dan penerimaan negara juga cenderung tidak jelas sehingga yang terjadi industri tembakau lagi-lagi menjadi korban. Harus ada kebijakan komprehensif yang beriringan, melindungi IHT, tenaga kerja, sekaligus mengamankan penerimaan negara dari cukai.
“Sekarang ini selalu tarik menarik antar kementerian sehingga industri menjadi korban, dan ujungnya masyarakat juga yang jadi korban,” tandasnya.
Adapun pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menyatakan sikap pemerintah dalam hal kebijakan IHT terutama cukai yang terus naik dengan dalih kesehatan akibat pengaruh kuat dari kelompok antitembakau. Sehingga melahirkan banyak regulasi yang pada intinya membatasi pertumbuhan IHT.
“Korporasi asing atau lembaga asing kasih uang untuk mengubah regulasi kita. Mereka lebih anarkis tapi tidak pernah dianggap berbahaya oleh pemerintah,” tegas dia.