Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya (negatif) komunal

23 Februari 2021   12:41 Diperbarui: 25 Februari 2021   10:52 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sering mendengar dan mungkin juga menyatakan bahwa budaya masyarakat kita adalah budaya komunal yang ciri utamanya adalah gotongroyong, saling pengertian (tepa slira) dan menjunjung tinggi rasa (terutama perasaan orang lain). Itulah budaya positif komunal, yang tentu saja dimiliki dengan cara praktek yang berbeda oleh berbagai kelompok manusia di barat, timur, utara, bahkan selatan sekalipun.

Sekalipun hal itu digembar-gemborkan oleh segenap pemimpin sosial politik budaya kita, kenyataan berkata lain. Dalam konteks ini ada satu kata asli Indonesia (melayu) yang dikenal luas dan yang mau tidak mau merepresentasi budaya komunal kita, yaitu amuk (amok) masa. Jadi, alih-alih budaya (positif) komunal yang adiluhung kebanggaan kita itu yang dibaca dan dilihat disaksikan dirasakan oleh masyarakat dunia, mereka lebih akrab dengan budaya (negatif) komunal yang ada pada masyarakat kita.

Mari berefleksi mengapa hal ini terjadi. Apakah ini hanya salah paham atau memang benar cara dan gaya hidup komunal kita seperti itu?

Mari kita mulai dari rumah kita masing-masing. Pihak manakah yang akhirnya dimaklumi untuk dipersilahkan menganggap diri benar berhak menentukan keputusan? Pihak yang punya kekuatan baik fisik ekonomi dan jumlah yang memiliki potensi dan kemampuan untuk melakukan kemarahan dan amuk, atau pihak yang berorientasi pada upaya kerjasama, saling pengertian, dan yang memiliki kapasitas menjaga perasaan?

Para pembicara pemerhati pelaku budaya sering berkomentar bahwa "budaya timur kita ini komunal tidak seperti budaya barat yang individual". Nah mari kita lihat jalanan kita. Kalau di barat orang dengan rapi antri dalam rangka gotongroyong, saling mengerti dan menjaga perasaan orang lain, kita menyebutnya itu sebagai masalah kedisiplinan saja. Mereka tetap individual tapi memang memiliki kedisplinan sosial.

Sementara disini, ketika orang berjalan di trotoar dalam rangka kedisiplinan, kita diminta untuk tepa slira dengan pedagang kaki lima liar, parkir sembarangan, orang nongkrong, dan sebagainya. Dan orang yang mengeluhkan itu semua, dengan mudah secara masal khalayak akan menjustifikasi sebagai orang yang tidak tepa slira, tak berperasaan dan tak bergotongroyong.

Ada banyak lagi contoh praktek budaya komunal yang bisa kita uji. Di kantor, di pasar, di ruang rapat, di warung kopi. Tempat-tempat pertemuan komunal terjadi dan menjadi saksi dimana sesungguhnya makna gotongroyong, tepa slira, dan menjaga perasaan itu nyata-nyata dipraktekkan.

Singkatnya, kita menslogankan budaya (positif) komunal, namun dalam kesadaran dan praktek hidup keseharian kita, kita lebih dekat dengan masyarakat yang berbudaya (negatif) komunal. Budaya (positif) komunal sebenarnya tidak butuh slogan, hanya perlu dipraktekkan dalam keseharian kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun