Â
Saya hanya heran dengan beragam tanggapan dan komentar seputar maraknya homophobia, kenapa logika yang disebarkannya begitu simpang-siur dan cenderung menyesatkan nurani.
Kenapa, kok karena Ilmu yang kita miliki belum mampu menjelaskan keseluruhan realitas tentang rentangan luas dan kompleks seksualitas manusia, lantas yang dijadikan sasaran amarah dan bahkan pelecehan dan kekerasan kok malah kelompok-kelompok yang seharusnya justru perlu dihargai dan dihormati keberbedaannya?
Kenapa, karena susunan dan pola keagamaan yang kita anut tidak memiliki kemampuan untuk menerima, merangkul, mengasihi dengan tulus, kok malah agama dipaksa digunakan sebagai alat untuk mendehumanisasikan eksistensi mereka?
Kenapa kelemahan norma sosial yang selama ini sistem kearifannya ternyata menyembunyikan realitas itu, malah dijadikan rujukan untuk membenarkan keterbatasan wawasan kita?
Padahal sesungguhnya, hal yang sama terus terjadi dalam sejarah. Ketika orang semakin sadar bahwa harkat kemanusiaan tidaklah dibedakan berdasarkan warna kulit, pada akhirnya orang belajar bahwa cara berpikirnya yang dikuasai kebodohan rasialislah yang keliru, yah sekalipun masih juga ada sisa-sisa semangat rasialis itu menjangkiti beberapa orang. Ketika orang sadar bahwa hak kemanusiaan itu sama baik laki-laki dan perempuan, orang lantas belajar bahwa kekuranglengkapan cara berpikirnya utuk bisa melihat perempuan setara dengan laki-lakilah yang menghambatnya, sekalipun tentu masih ada juga orang-orang yang mengidap demam memempatkan perempuan hanya sebagai obyek, bahkan hanyalah obyek seksual dan alat reproduksi saja. Saya heran, karena pelajaran-pelajaran besar tentang kemanusiaan yang menjadikan kita manusia yang utuh, independen, mampu menghargai perbedaan, bahkan sesuatu yang berbeda yang belum kita pahami dengan jelas, itu semua ternyata sama sekali tidaklah cukup untuk membuat kita menjadi bijak atau setidaknya berfikir dengan mempertimbangkan nurani kemanusiaan.
Jargon-jargon pembodohan besar-besaran dibuat seolah-olah kekerdilan pikir kita yang dihinggapi homophobia itu penting melebihi kepentingan keselamatan negara. Skenario konspirasi internasional ala film hollywood diteliti dan disebarluaskan seolah-olah masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang benar-benar sesuai dengan kemanusiaan dan mana yang memang sengaja melecehkan kemanusiaan itu sendiri. Naskah-naskah suci keagamaan dikupas diperdebatkan seolah-olah itulah alat analisis yang paling sahih yang harus menguasai pikiran dan perasaan manusia, dan bukan Tuhan sang Maha Pengasih dan Penyayang lagi. Peraturan-peraturan bahkan perundang-undangan ditafsirkan ulang sedemikian rupa, hingga makin menutupi kesadaran manusiawi untuk mengukur tingkat kemampuan kita menghargai perbedaan, mengaburkan pesan bahwa bisa jadi yang bermasalah adalah kadar homophobic yang menempel dalam diri kita masing-masing.
Ada banyak argumen untuk menjelaskan mengapa kita mudah sekali dan terus menerus melestarikan rasa takut sebagai mekanisme pertahanan. Namun ketakutan pada perbedaan orientasi seksual nampaknya berhubungan dengan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan. Artinya, orang yang memiliki kecenderungan usil mengurusi seksualitas orang lain (sekalipun itu anaknya sendiri) adalah orang yang tidak puas dan tidak nyaman dengan orientasi seksualnya sendiri. Tidak perlu pakai teori psikologipun, rasa iri terhadap apa yang bisa dilakukan orang lain itu setiap hari kita jumpai dalam diri kita masing-masing. Cemburu, iri, lantas menjadi dengki dan bahkan berusaha mencelakai adalah kecenderungan jalan kejahatan yang tersedia dalam hidup manusia. Sebaliknya, rasa kagum pada yang berbeda, menghargainya, menghormatinya, saling belajar mendewasakan diri, adalah jalan kebaikan yang sama-sama lebarnya dengan jalan kejahatan.
Jadi, rasa takut pada yang tidak kita mengerti itu wajar, rasa takut yang digunakan sebagai usaha untuk survive juga wajar, tapi ketika rasa takut pada yang berbeda itu lantas membuat kita memilih jalan kejahatan, saya masih yakin pada inti ajaran tiap agama yang selalu mendorong bahwa ada jalan lain. Bahwa Tuhan dan banyak makhluk berbeda lain yang bisa membuat kita takut itu bukan dalam tujuannya agar manusia memilih jalan jahat melainkan sebaliknya. Bukankah tiap agama mengajarkan jalan kebaikan?
Maraknya homophobia akhir-akhir ini memang ujian berat, namun juga peluang besar bagi kemajuan kemanusiaan kita. Jelas sindrom homophobia itu ada dimanapun dibelahan bumi ini, dia tidak mengenal agama, sistem politik, jenis kelamin, usia, ras, suku, dan budaya. Semua orang dalam kadar yang beragam terjangkiti dan hal itu menghasilkan reaksi yang beragam dalam mensikapinya. Ketakutan pada perbedaan yang sekarang marak dalam bentuk homophobia jelas memperlihatkan kepada kita bahwa kita semua perlu berani belajar dan membuka bahkan melampaui tabir-tabir ketidaktahuan dan keengganan kita untuk meluaskan wawasan pemahaman tentang kemanusiaan. Satu langkah sederhana sebagai percobaan yang bisa kita lakukan adalah dengan fokus pada persoalan sesungguhnya. Kalau turun hujan dan itu membuat kita menjadi demam, apakah kita akan menyalahkan hujan dan menuduh bahwa ada butiran-butiran hujan yang berbahaya? Tentu akan lebih berguna dan memberikan manfaat bagi hidup kita kalau segera kita belajar bahwa diri kitalah yang lemah dan perlu tambahan kekuatan untuk mengatasi realitas adanya hujan itu. Kalau sudah terlanjur masuk angin, sebaiknya minta tolong temannya untuk dikeroki. Karena orang tidak bisa ngeroki punggungnya sendiri.
 Â