Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PEDULI RUANG PUBLIK (Kapitalisasi Ruang Publik. Bag.2)

20 November 2015   01:32 Diperbarui: 20 November 2015   02:11 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peran Pemerintah

Apapun alasannya dan tujuannya, ruang publik bukanlah barang dagangan, pun pula tidak layak untuk dikapitalisasi demi siasat perolehan provit tertentu. Entah nama baik, apalagi yang jelas-jelas berupa barter kapital. Sebaiknya begitu saja dibahasakan. Karena istilah barter kapital ini adalah sesuatu yang lazim dilakukan tapi lepas dari sorotan gratifikasi atau korupsi. Disinilah peran pemerintah menjadi sangat strategis. Disatu sisi, di tengah maraknya budaya konsumerisme yang dilazimkan menjadi penanda keberadaban seseorang, peran pemberi contoh pengendalian terhadap gencar dan kasarnya korporasi melecehkan akal sehat masyarakat adalah posisi yang terhormat. Disisi yang lain, sebagai pengambil kebijakan yang mau tak mau bernegosiasi dengan komponen pelaku ekonomi - dari yang paling kecil hingga yang besarnya tak mampu diraba lagi - pemerintah berfungsi sebagai pengadil yang baik yang mengedepankan masa depan hidup sehat jasmani dan pikir masyarakatnya.

Dalam konteks kepedulian terhadap ruang publik, peran ganda pemerintah itu menjadi efektif jika terjadi keterbukaan/transparansi serta sistem managemen yang bersih. Mengapa prasyarat ini penting? Karena, pertama, ruang publik itu dalam sejarah bangsa ini mudah sekali diselewengkan menjadi aset negara yang kemudian diartikan sebagai aset penguasa, yang kemudian diartikan menjadi aset personal pada orang/gerombolan pemimpin yang ada. Kedua, ruang publik bisa disulap berubah fungsinya menjadi sekedar alat politisasi perencanaan tata ruang di sebuah kawasan Mengapa? Karena simpang siur dan berbelitnya perundangan berkaitan dengan hal itu memang tumpang tindih, baik dalam arti fisik peraturannya, apalagi dalam arti fisik dan mental orang-orang yang bertugas menjaga peraturan itu bisa berbunyi sebagai peraturan. Ketiga, kesombongan korporasi, yang karena memang bergerak berdasarkan aset kapital, seringkali tak mampu ditahan godaannya oleh beberapa orang yang berada dalam pengambilan keputusan, dapat dengan mudah menyasar ruang-ruang publik untuk dijadikan etalase bisnisnya.

Visi terhadap sebuah kawasan konsistensi dan indikasi-indikasi keberhasilannya sepenuhnya berada di bawah kontrol dan pengendalian pemerintah. Oleh karenanya, penjabaran visi terhadap ruang publik juga perlu tegas dan jelas didukung oleh peraturan yang memperkaya wawasan penyelenggara negara pada penting dan perlunya terus dibangun ruang-ruang publik sebagai terminal perjumpaan antar manusia untuk saling belajar dan memberdayakan diri menyadari kemanusiaannya.

Jadi jelas, ruang publik tidak boleh dipolitisasi dijadikan alat mempertahankan atau membangun citra sebuah pemerintahan. Terlebih lagi, ruang publik bukanlah alat kekuasaan untuk mengadu domba kelompok masyarakat yang memiliki perspektif yang beragam dalam memanfaatkan ruang publik tersebut. Jika pemerintah memberi contoh dengan cara mempolitisasi ruang publik, maka jangan heran jika masyarakat, dalam lingkup-lingkup yang kecil juga akan melakukan yang sama. Dampaknya nyata ada di tengah masyarakat yaitu hilangnya rasa memiliki terhadap ruang publik, karena itu hanya dibutuhkan ketika hasrat politisnya sedang terumbar tak terkontrol.

Pemerintah juga perlu untuk menegaskan diri untuk tidak melakukan tindakan berdasarkan kebijakan yang mengkapitalisasi ruang publik. Jika semakin hari managemen penataan ruang semakin mempersempit ruang gerak masyarakat, jika semakin hari kenyamanan, kesegaran dan ketentraman wilayah semakin rawan, jika semakin hari kesadaran masyarakat dalam menghargai dan memlihara ruang publik yang ada semakin egois, itu adalah tanda-tanda bahwa kebijakan mengkapitalisasi ruang publik telah mewabah berpengaruh ke masyarakat dan siap untuk menghadirkan bencana sosial dan ekologis.

Jika dalam penggunaan ruang publik oleh masyarakat pemerintah berperan sebagai pengendali management dan kontrolnya, maka kebijakan pemerintah dalam pengelolaan ruang publik juga perlu dikontrol terbuka oleh publik. Memanfaatkan partisipasi sepenuhnya dan memberi ruang dialog seluas-luasnya pada kepedulian komunitas-komunitas adalah cara terbaik yang akan menguatkan fungsi ruang publik bagi keperluan bersama.

Kepedulian Komunitas

Dari perspektif kapital, ruang publik memang sangat menggiurkan. Dia tidak hanya menawarkan profit namun juga menciptakan penguasa-penguasa kecil. Bukan menjadi rahasia bahwa tiap penggunaan ruang publik untuk kepentingan profit tertentu pastilah melibatkan kelompok-kelompok dan person-person yang bermain-bekerja untuk mendapatkan keuntungan. Kombinasi permainan antara kelompok-kelompok masyarakat dengan person-person yang mengatasnamakan dirinya petugas pemerintah itulah yang dapat dibaca dengan jelas menghasilkan wajah ruang publik kita.

Wajah ruang publik yang digunakan untuk pedagang kaki lima, parkir, retribusi, dan sejenisnya yang berada di sebuah kawasan tertentu merupakan wajah asli bagaimana managemen ruang publik yang melibatkan komunitas-komunitas itu berinteraksi secara mutualistik. Dan sesungguhnya merupakan wajah masyarakat itu sendiri dalam berinteraksi secara publik. Maka, jika terjadi kesimpangsiuran, ketidakrapian-kesemrawutan, ketidak disiplinan, keramaian-kemacetan, yang paling perlu berefleksi-berkaca adalah komunitas-komunitas yang ada dalam masyarakat itu sendiri. 

Dengan adanya komunitas-komunitas yang menaruh perhatian pada kebersihan, penggunaan trotoar, kelancaran berkendara (termasuk pengendara sepeda), adalah bentuk negasi baru bahwa ada kebutuhan untuk membangun management penggunaan ruang publik yang berorientasi pada kebutuhan bersama tanpa harus merugikan pihak-pihak tertentu. Trotoar jelas untuk pejalan kaki, jalan raya utamanya adalah untuk kepentingan pengendara, dan seterusnya. Managemen penggunaan ruang publik membutuhkan dasar logika berpikir yang juga mendewasakan cara pikir masyarakat, bukan memanipulasinya untuk kepentingan tertentu belaka.

Peran komunitas-komunitas yang peduli terhadap ruang publik bersifat nyata tapi tidak menemukan bentuk pengorganisasian yang menguntungkan masing-masing komunitas dan kelestarian ruang publik itu sendiri. Peran itu bersifat moral-etis yang mendidik nalar masyarakat untuk menyadari cara dan gaya hidupnya berjumpa dengan orang lain namun selalu tak mampu menemukan bentuk yang produktif bagi pembentukan sikap menghargai baik orang lain maupun ruang publik itu. Demikianlah nyata bahwa kepedulian pada pentingnya ruang publik berfungsi maksimal bagi kepentingan bersama dan juga demi kelestarian ruang publik itu sendiri terletak pada nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat.

Diperhadapkan pada realitas bahwa ruang publik selalu menghadirkan persoalan baik yang bersifat brokratis kebijakan publik maupun kehadiran pesan-pesan kerakusan, menang sendiri, dan ketidakpedulian, komunitas-komunitas yang menaruh kepedulian terhadap ruang publik perlu mendasari gerakannya dengan nilai-nilai yang jelas dan tegas. karena dari apa yang dipraktekan oleh komunitas-komunitas itulah tersiar bagaimana budaya masyarakat sebenarnya terbangun.

Jadi pandanglah wajah ruang-ruang publik dan mari berkaca sambil bertanya apakah kita masing berani mengatakan bahwa kita adalah masyarakat gotong royong, apakah kita masyarakat yang saling pengertian (tepo sliro), apakah kita masyarakat yang saling menghormati, apakah kita masyarakat yang berbudi luhur bawa leksana? 

Ruang Publik dan Masa Depan

Masa depan ruang publik adalah tanggungjawab keadaban dan kebudayaan seluruh anggota masyarakat. Dalam banyak kasus pembangunan sebuah kawasan menjadi sangat tertib dan bahkan steril dari ketidakdisiplinan, di belakangnya selalu terkandung tindakan tegas dan bahkan kadang galak dan garang dengan keampuhan mekanisme hukuman yang bisa jadi tidak manusiawi. Tentu kita tidak perlu menunggu sampai sistem itu diberlakukan dengan tanpa ampun agar seluruh anggota masyarakat bisa berpikir dan merasa. Masa depan ruang publik adalah masa depan keberlangsungan budaya kita berinteraksi dengan orang lain dan dengan ruang dimana kita bisa menemukan kenyamanan dan ketentraman kawasan. 

Sekendur dan sekeras apapun aturan diperlakukan terhadap ruang publik oleh penguasa tentulah mengandung maksud tertentu. Dan dimanapun kekuasaan yang berhubungan dengan kapital akan melihat bahwa ruang publik adalah peluang paling besar untuk dapat dikapitalisasi demi kepentingan kekuasaan itu sendiri. Masyarakat yang sudah tergabung dalam komunitas-komunitas peduli perlu segera memberanikan diri untuk bernegosiasi agar semua ruang publik dalam kawasan tertentu tidak hanya berfungsi sebagai alat bagi kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan. Sekali lagi, fungsi ruang publik yang utama adalah untuk kenyamanan dan keamanan seluruh masyarakat dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan alam di sekitarnya.

Disamping itu, komunitas-komunitas yang peduli terhadap kelestarian publik juga perlu terus bergerak berdasar nilai mempertahankan fungsi manusiawi yang alamiah terhadap ruang publik itu. Sikap pembiaran dan acuh tak acuh terhadap penyalahgunaan ruang publik dmei kepentingannya sendiri - apapun alasannya - perlu disikapi dengan berdasar pada nilai pentingnya ruang publik bagi masa depan budaya interaksi antar manusia. 

Dekapitalisasi = Maksimalisasi Fungsi

Dengan melihat bahwa ruang publik, baik bagi kepentingan politik kekuasaan maupun kepentingan praktis ekonomis masyarakat menemukan persimpangannya, maka kesadaran dasar yang perlu ditekankan menjadi budaya adalah dengan cara men dekapitalisasi ruang publik. Artinya, diperlukan sebuah gerakan budaya untuk melihat ruang publik itu bukan lagi sebagai tempat dimana siapapun dapat memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis dan politisnya sendiri.

Siapa yang bisa mempelopori dan memberi contoh untuk gerakan budaya sperti ini? Tentu yang paling strategis dan pertama kali dengan tegas memperlihatkannya adalah para penguasa yang kekuasaannya dicurahkan pada pemanfaataqn ruang publik itu. Pemerintah dapat dengan sangat strategis memberikan contoh tegas bahwa ruang publik bukanlah ajang bisnis antara pemerintah dengan korporasi tertentu. Demikian juga penguasa setempat entah itu kedinasan tertentu atau kepemimpinan tak nampak yang menguasai sebuah wilayah ruang publik, termasuk di dalamna komunitas-komunitas peduli, perlu bersinergi memperlihatkan keberpihakannya dengan nalar sehat berbasis fungsi ruang publik yang adalah bagi keseluruhan anggota masyarakat dan kelestarian ruang publik itu sendiri.

Selama segala aktifitas yang berhubungan dengan ruang publik masih memberikan ruang bagi usaha kapitalisasi ruang publik itu demi kepentingannya sendiri, selama itu pula semua pihak akan beramai-ramai berusaha memanfaatkan ruang publik sebagai lahan baik untuk bisnis maupun untuk kepentingan idiologis-politis kelompoknya sendiri. Dan dalam proses seperti itulah budaya kita dipertaruhkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun