Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kristen Nusantara?

21 Juni 2015   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini tema tentang Agama Nusantara menjadi perhatian postitif bagi perkembangan kesadaran keagamaan di Indonesia terutama berkaitan dengan kesadaran tentang pluralisme. Di satu sisi, tema ini memberi peluang bagi tiap orang untuk melihat kembali kesadaran holistik beragama-bernegaranya, di sisi yang lain tema ini merupakan angin segar bagi kesadaran nasional bahwa di tanah air tercinta ini, Agama (-agama) menemukan bentuknya yang unik, relevan bagi masyarakatnya, dan juga kontekstual bagi pembangunan karakter berbangsa dan bernegara.

Yang paling nampak dalam thema ini adalah mengemukanya pembahasan, diskusi, kajian, dan bahkan penelitian intensif tentang Islam Nusantara. Secara prinsip, jelas hal ini bukanlah "barang" baru. Perjalanan transformatif Islam dalam konteks kedaerahan di tiap-tiap wilayah Nusantara memang merupakan dinamika paling menarik dalam sejarah terbentuknya Indonesia. Namun ia juga penting dalam dinamika lokalitasnya. Dalam hal transformasi yang berjumpa dengan lokalitas inilah, Islam memperkokoh karakternya menjadi agama yang mampu meletakkan dasar-dasar penting bagi pengembangan masyarakat. 

Saya tidak hendak membahasa tentang Islam Nusantara. Yang saya sampaikan di atas sekedar sebuah pengantar yang sejak awal hendak memperlihatkan bahwa agama selalu dinamis dan menemukan bentuk paling idealnya ketika ia memberikan fungsi strategis dan taktis sekaligus memberikan etika dan sistem pemaknaan bagi hidup masyarakat. Bangunan ke-Nusantara-an bukanlah bangunan geografis dan kemudian sekedar politis belaka.

Entah itu mengacu pada usaha kerajaan-kerajaan pra kolonial saat menyatakan model pewilayahan, ataukah mengikuti pemetaan transaksional era kolonialisme yang kadang menjadikan wilayah yang sekarang disebut Indonesia ini sebagai barang dagangan yang bahkan bisa ditukargulingkan, ke-Nusantara-an nampaknya hendak lebih menonjolkan sebuah gerakan bersama menyadari lokalitas berbasis etnisitas dalam kaitannya dengan lokalitas yang lain. Dan salah satu gerakan penyadaran itu, selain bersifat politis, yang tidak kalah pentingnya adalah bersifat religius, keagamaan.

Berbeda dengan Islam Nusantara yang ketika memasuki era gerakan anti kolonialisme dan era revolusi terjadi menguatkan jati diri kontekstualnya, Kekristenan berada pada persimpangan jalan terberatnya. Islam Nusantara menjadi energi luar biasa besar dalam revolusi, dalam segala bentuk pilihan idiologisnya (sosialis, religious-moderat, religious-garis keras, dan modernis religious, dll), pilihan mayoritas organisasi Kekristenan pada keIndonesiaan seringkali nampak pragmatis saja. Islam Nusantara memiliki akar historis yang begitu kuat dan besar, yang selalu menggembirakan untuk terus dikaji kembali. Bahkan selalu menggembirakan untuk terus di formasikan kembali dalam bentuk-bentuk yang tidak melulu politis, melainkan reflektif pada keotentikan dan keunikan kebesaran Islam itu sendiri. Sementara mencari akar-akar atau bahkan tanda-tanda tentang Kristen Nusantara masih dibutuhkan kerja keras.

Kisah Kristen yang bertransformasi dengan lokalitas memang kita jumpai dalam kisah-kisah awal penyebaran kekristenan di Indonesia. Namun kebanyakan, transformasi kelokalan itu tergagalkan oleh pendekatan sistem misi yang dikontrol dari asal kekristenan Indonesia itu berasal yaitu; Belanda. Jadi jangankan masuk pada kesadaran intra-regional seluas wawasan Nusantara, dalam konteks lokalnya, sejak dari awalnya, Kekristenan telah gagal berjumpa dengan ke-Nusantara-an. Bahkan selanjutnya isu yang dihadapinya lebih tentang persaingan regionalitas Kekristenan itu sendiri dan bagaimana keterhubungannya dengan lembaga-lembaga kontrol misi dari negara asalnya di Eropa.

Kyai Sadrach di Jawa tengah dan Coolen di jawa Timur adalah contoh paling tragis bagaimana proses negosiasi Kekristenan dan ke-Nusantara-an itu ujung-ujungnya menjadi pragmatis. Kedua tokoh ini tercatat dalam sejarah gereja di Indonesia, namun sangat kecil minat gereja-gereja yang anggota-anggotanya dulu adalah nenek moyang yang menjadi Kristen oleh usaha keras mereka berdua itu untuk menempatkan mereka menjadi figur penting bernegosiasi dengan ke-Nusantara-an.

Begitulah dalam era revolusi Kekristenan juga tidak bersemangatkan tujuan menjadi Kristen Nusantara, melainkan sekedar semangat politik kemerdekaan, yang harus diakui banyak juga motif ekonomisnya. Keterlibatan orang Kristen dalam gerakan revolusi tidak tidak didorong oleh, dijalani dengan dan memberi pengaruh pada kesadaran menjadi Kristen Nusantara. Tunas-tunas Kristen Nusantara dibiarkan menjadi kering dan mati. Dan kondisi itu didukung dengan iklim tandus "dilarang berbeda" karya Orde Baru yang luka-lukanya tidak kalah menyakitkan dari pemenggalan tunas-tunas Kristen Nusantara dalam era Kolonialisme.

Peluang besar sebenarnya dimiliki ketika peristiwa reformasi terjadi. Namun entah kutuk apa yang menimpa kekristenan di Indonesia. Sementara peluang itu memperkaya ekspresi banyak agama yang ada di Indonesia untuk semakin menegaskan karakter ke-Nusantaraan-nya, kekristenan justru memperkokoh sikap pragmatisnya dengan dalil-dalil nasionalisme-internasionalisme dan sibuk mencari bentuk-bentuk penyeragaman dan pemusatan. Organisasi-organisasi kekristenan berskala nasional belum memperlihatkan ketertarikannya pada refleksi terdekatnya mengembangkan kesadaran Kristen Nusantara.

Tentu saja banyak Kyai Sadrach dan Coolen model baru ada di antara orang-orang Kristen di Indonesia. Kebanyakan dari mereka biasanya tersingkir dan ditanggapi sinis oleh kelompok mayoritas Kristen. Ada banyak ekspresi kelokalan diperlihatkan sebagai bentuk mengawali kesadaran ke-Nusantara-an, tapi biasanya itu ekspresi pribadi dan tidak menemukan jalan untuk bisa mengemuka menjadi thema baru bagi kekristenan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun