“Mending lungo seko Indonesia !” (inspirasi : dosen mata kuliah mikro ekonomi dan ekonomi moneter)
Kalimat yang tertulis diatas adalah ekspresi ‘ngambek’nya perusahaan-perusahaan di Indonesia menyikapi amukan buruh yang menuntut upahnya naik, dimana peristiwa ini memang merupakan resiko yang didapat dari pasar Tenaga kerja.
Ekspresi tersebut dalam bahasa indonesia berarti “mending pergi aja dari indonesia!” dan tentu saja kita (rakyat Indonesia) akan bersama-sama berteriak “JANGAN!!!!!” kepada mereka. Karena (kata teori), peran mereka sangat mendorong tingkat produk domestik bruto (PDB) dan menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia bahkan di negara manapun.
Kenapa perusahaan bisa se-ngambek itu?
Tentu saja dalam kondisi seseram ini, tanpa berfikir dua kali, mereka (perusahaan) bisa saja hengkang dari Indonesia dan melakukan relokasi di negara tetangga, kemungkinan negara Vietnam tujuannya.
Bisa jadi, peristiwa miris yang terjadi tahun 1998, dimana perusahaan-peruasahaan macam Adidas (contoh) dengan gagah hengkang ke Vietnam, meninggalkan luka bagi tenaga kerja Indonesia. Siapa yang nakal? Entahlah...
Pilihan perusahaan untuk memilih Vietnam merupakan pilihan yang sama sekali tidak salah, bahkan pilihan itu merupakan pilihan yang paling tepat bagi mereka untuk mengembalikan kembali profit yang sempat anjlok selama di Indonesia. Negara ini memiliki tingkat upah yang lebih rendah dari Indonesia. Perlu diketahui, Indonesia adalah negara dengan tingkat upah tertinggi di Asia. Pegawai Negari Sipil (PNS) saja masih berada pada titik upah sebesar Rp. 1,200,000, buruh sudah minta Rp. 3,700,000 ? bisa-bisa, PNS yang nasibnya masih (maaf) terlantar, akan ikutan beradu nasib menjadi buruh juga.
Miris.
Tidak berbeda memang dengan pasar-pasar lainnya. Ada harga, ada tawar, ada penjual dan ada pembeli. Harga murah, pembeli di untungkan. Harga mahal, penjual yang diuntungkan Dalam hal ini yang dimaksud pembeli adalah perusahaan, sedangkan penjual adalah serikat buruh yang memperjualbelikan jasanya. Keduanya saling tarik menarik, satu ingin harga naik, satu lagi ingin harga turun. Begitu seterusnya. Sulit ditebak.
Serikat pekerja menuntut harga naik karena upah adalah kehidupan mereka. Mereka akan melakukan apapun asal, kehidupan mereka terjamin, misal dengan aksi mogok kerja dengan andil-andil supaya perusahaan mengerti betapa berharganya mereka. Ternyata memang benar adanya. Akibat aksi mogok tersebut, sebuah perusahaan yang tidak bisa disebut namanya, hampir mengalami kerugian sebesar Rp. 4 Millyar per hari. Bayangkan bagaimana getar-getirnya perusahaan tersebut setiap hari. Bahkan mungkin mereka pun tidak pernah tidur dengan nyenyak.
Satu hal yang perlu dijaminkan oleh para buruh ketika perusahaan telah menaikkan upah mereka adalah, produktivitas yang juga meningkat. Tanpa adanya produktivitas yang berarti dari buruh, ini namanya pemerasan bagi perusahaan. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, perlu sekali memperhatikan produktivitasnya. Perusahaan dalam hal ini akan memberikan upah yang rendah, apabila diikuti juga dengan produktivitas mereka yang rendah (sebaliknya), rendahnya pendapatan buruh, dapat dipastikan hanya cukup untuk konsumsi sehingga menabung akan diabaikan. Padahal, tabungan adalah sumber utama pembentukan modal masyarakat. Sehingga, bank akan terus meningkatkan suku bunga untuk mengiming-imingi masyarakat agar menabung. Disisi lain, keadaan pasar modal juga akan semakin genting, dimana harga-harga saham (IHSG) yang murah akan membuat para pemodal asing menarik kembali modalnya, dan begitu seterusnya. Dalam dunia ekonomi, hal ini dinamakan Lingkaran Setan. Lingkaran setan itu harus diputus, supaya negara tersebut dapat bangkit. Satu-satunya cara adalah dengan memperbaiki produktivitas sebagai sebab awal terjadinya lingkaran setan ini.
Perusahaan tentu saja enggan menaikkan upah dan menginginkan upah rendah meskipun dengan iming-iming meningkatnya produktivitas yang biasanya hanya janji karena bagi perusahaan, upah adalah biaya. Biaya yang menentukan berapa keuntungan yang didapat setiap bulannya. Bagi buruh, kebijakan perusahaan yang menaikkan upah mereka sebesar Rp. 100.000 dinilai sangat tidak manusiawi. Namun, bagi perusahaan, biaya tersebut, apabila dikalikan dengan jumlah tenaga kerja yang ia milki (>25) akan dinilai sangat berat apalagi jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas.
Akibatnya, melihat pengeluaran perusahaan untuk upah tenaga kerja yang nilainya setinggi itu, perusahaan kemudian akan membandingkan apabila pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli mesin-mesin. Disamping mesin tidak dapat protes ketika digaji murah, mesin juga tentunya memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan tenaga manusia. Ini yang dikhawatirkan. Perusahaan akan mulai memberhentikan buruh-buruh tersebut, dan menggantikannya dengan mesin. Hal ini dinilai cukup rasional dan efisien bagi perusahaan. Namun, tidak untuk buruh. Buruh akan kembali turun ke jalan-jalan menyuarakan rusaknya moral pengusaha yang mem-PHK mereka di tengah-tengah inflasi yang tak terkendali yang sebenarnya dibuat oleh mereka sendiri. Kenapa tidak? Mereka yang menginkan upah naik, tanpa mereka ketahui, semakin tinggi masyarakat memegang uang, semakin tinggi pula harga barang dan jasa (inflasi). Lama-kelamaan, mereka akan meronta-ronta lagi meminta upah naik, lalu harga barang jasa kembali mengikuti naiknya upah mereka. Begitu seterusnya entah sampai kapan.
Dalam hal ini, pemerintahlah yang harusnya berperan dalam menengahi permasalahan antara buruh dan pengusaha. Bahkan seharusnya, pemerintahlah yang harus didemo oleh buruh, bukan pengusaha. Dalam arti, buruh menagih kejelasan subsidi pendidikan, subsidi pengobatan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang mampu mengurangi pengeluaran buruh.
Hati-hati !
(qtc)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H